Senin, 17 Oktober 2016

Sunda Wiwitan: Kepercayaan atau Agama?



Konsep Ketuhanan dan Ajaran Sunda Wiwitan

Aliran kepercayaan Sunda Wiwitan menganut kepercayaan monoteis. Penyembahan mereka tujukan pada Sang Hyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut sebagai Batara Tunggal, Batara Jagat dan Batara Seda Niskala. Pengikut Sunda Wiwitan mempercayai bahwa keberadaan tuhan mereka adalah di Buwana Nyncung (buana atas), bersemanyam disana. Mereka meyakini bahwa dengan mempercayai sepenuhnya Sang Hyang Keresa, maka kesejahteraan akan tercapai. Disamping keyakinannya kepada Hyang Keresa, mereka juga meyakini bahwa ada kekuatan gaib yang menjaga tanah mereka, karuhun/ leluhur. Masyarakat Badui penganut Sunda Wiwitan menganggap bahwa Nabi mereka adalah Nabi Adam.
 
Namun demikian, adapula yang menganggap bahwa Sunda Wiwitan adalah penganut animisme dan dinamisme. Kepercayaan yang bersifat aministik juga dikuatkan oleh Roger L. Dixson. Menurut Roger, mereka –penganut Sunda Wiwitan- mempercayai bahwa terdapat roh-roh yang menghuni pohon, batu-batuan dan benda mati lainnya. Roh tersebut juga terdiri dari roh jahat dan roh baik.
 
Pimpinan Sunda Wiwitan adalah sekaligus pimpinan suku Badui (Pu’un), yang juga dianggap sebagai keturunan batara. Setiap aturan yang diperintahkan harus dikerjakan. Kepercayaan Sunda Wiwitan juga memiliki rukun, yaitu: Ngukus (sesembahan menyan), Ngawalu, Muja (melakukan pemujaan/mentuhankan sesuatu), Ngalaksa, Ngalanjak, Ngapundayan, dan Ngareksauken Sasaka Pusaka.

Ada beberapa ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi masyarakat Badui Dalam penganut Sunda Wiwitan, yaitu Pikukuh. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi mereka, tetapi juga pengunjung di lingkungan Badui Dalam. Ketentuan tersebut berisi: (1) Dilarang merubah jalan; (2) Dilarang mengubah bentuk tanah: (3) Dilarang masuk hutan titipan; (4) Dilarang menggunakan bahan kimia; (5) Dilarang menanam tanaman budidaya perkebunan; (6) Dilarang memelihara binatang ternak kaki empat; (7) Dilarang berladang sendiri-sendiri, harus sesuai ketentuan adat; (8) Dilarang berpakaian sembarangan, Badui dalam berpakaian putih dengan menggunakan ikat kepala, sedangkan Badui luar berpakaian hitam dengan menggunakan ikat kepala.

Mengenai bentuk ritual keagamaan, Sunda Wiwitan menganggap bahwa kehidupan sehari-hari mereka sebagai ibadah harian. Mereka menekankan nilai-nilai kebaikan dalam perbuatan sehari-hari. Selain itu, ada beberapa ritual kepercayaan lainnya –bukan harian- seperti: Kawalu, yaitu puasa tanpa sahur selama tiga bulan dan Mutih atau puasa sunah. Pada saat saat dilakukan ritual puasa Kawalu, tidak boleh ada pengunjung di perkampungan mereka, Badui Dalam.

Kepercayaan Sunda Wiwitan mempunyai hukum adat yang seseorang yang melanggar hukum. Bagi seorang yang melanggar ada teguran dari kepala adat. Selain itu juga disediakan “rutan” untuk orang-orang yang melanggar hukum. Rutan tersebut hanya seperti rumah biasa dengan beberapa orang yang mengawasi kegiatan si tahanan –pelanggar hukum. 

Terdapat hal yang “unik” bagi masyarakat Badui Dalam penganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka tidak mengenal cerai dan poligami. Bagi mereka, cerai dan poligami adalah sesuatu yang dilarang. Abah Mursyid menyebutkan bahwa aturan tersebut telah berlaku turun-temurun. Bagi orang yang ingin menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, harus melewati ritual khusus yang disebut sertu


Pada kesimpulannya, pada tulisan ini, penulis menggunakan term “kepercayaan”, bukan menggunakan term “agama” dalam menyebut Sunda Wiwitan. Hal ini penulis dasarkan bahwa Sunda Wiwitan tidak memiliki kitab suci tertulis laiknya agama. Oleh sebab itu, penulis menyebut kepercayaan Sunda Wiwitan bukan agama Sunda Wiwitan.



Eksistensi Sunda Wiwitan dalam Konteks Bernegara

Sunda Wiwitan mengalami dialektika dengan pemerintah. Pada satu sisi, negara harus menghargai agama dan kepercayaan yang dipeluk oleh warganya. Tetapi pada sisi lain, Sunda Wiwitan dianggap bukan sebagai agama, melainkan aliran kepercayaan lokal. Bahkan negara menganggap sebagai budaya dan tradisi semata.  Hal ini didasarkan pada definisi agama yang ditetapkap pemerintah, bahwa agama adalah “Sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci memuat ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan kitab suci”. Sedangkan Sunda Wiwitan sendiri tidak memiliki kitab suci yang “tertulis”. Hal ini menyebabkan kepercayaan Sunda Wiwitan sulit diakui pemerintah. Pemerintah kemudian memasukkan mereka sebagai penganut agama Hindu.

     Ketika masa presiden Sukarno (pada awal 1960), aliran kepercayaan Sunda Wiwitan pernah dituding sebagai aliran yang menodai agama Islam. Beberapa muslim saat ini mengadukan bahwa aliran Sunda Wiwitan yang sarat dengan ajaran mistisisme mengadukan kepada pemerintah. Tidak lama kemudian, tepatnya pada Januari 1965, presiden mengeluarkan aturan tentang pelanggaran bagi orang yang melecehkan agama.

Beberapa penelitian mengungkap adanya kebijakan pemerintah yang “menyandra” pemeluk aliran kepercayaan Sunda Wiwitan. Kebijakan pemerintah yang dianggap meresahkan adalah bahwa pernikahan seorang pemeluk Sunda Wiwitan dianggap tidak sah. Keadaan ini terjadi pada tahun 1965 di Kuningan Jawa Barat. Hal ini mengakibatkan ribuan pemeluk Sunda Wiwitan berpindah ke agama Katolik. Selain itu, kebijakan yang dianggap “mendiskriminasi” menimpa salah satu pemeluk Sunda Wiwitan, Dewi Kanti. Pernikahan Dewi Kanti dengan pria beragama Katolik tidak mendapat pengakuan dari pemerintah. Petugas pencatatan sipil enggap mencatat karena Dewi Kanti bukanlah perempuan beragama. Hingga tahun 2012 lalu, penganut Sunda Wiwitan di Kuningan Jawa Barat tetap tidak mendapatkan identitas kependudukan.

Sebagai warga negara, masyarakat Badui Dalam penganut Sunda Wiwitan menginginkan pengakuan dari pemerintah, negara. Menurut Abah Mursyid, masyarakat Badui Dalam penganut Sunda Wiwitan mengakui kedaulatan negara Indonesia. Tetapi mereka tidak dapat mencantumkan kepercayaan mereka pada kartu identitas penduduk (KTP). Dalam upayanya mendapat pengakuan tersebut, tokoh masyarakat Badui berupaya mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Akibat tidak dicantumkannya Sunda Wiwitan pada KTP, mayarakat pun banyak tidak bersedia membuat KTP. Sehingga dalam gelaran pemilihan umum, mereka tidak dapat berpartisipasi. Namun demikian, masyarakat Badui tetap akan mendukung kedaulatan negara Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar