Senin, 17 Oktober 2016

Kepercayaan Lokal Sunda Wiwitan



Kajian terhadap aliran kepercayaan lokal menyita minat para peneliti. Hal ini setidaknya didasari oleh: “uniknya” aliran kepercayaan tersebut dibanding agama-agama besar yang diakui negara; identitas aliran kepercayaan lokal masih memengaruhi penganut agama-agama besar di Indonesia; kebijakan pemerintah negara yang terkadang tidak mengakui eksistensi mereka; dan keberadaan aliran kepercayaan lokal yang tetap eksis hingga sekarang.

Indonesia memiliki keragaman bahasa, suku dan agama. Sebagai contoh, adanya tujuh agama di Indonesia yang diakui pemerintah. Namun demikian, masih banyak lagi kepercayaan (seperti agama) yang berada di Indonesia, terutama daerah-daerah pedalaman. Aliran kepercayaan yang berkembang dalam jumlah banyak diakui merupakan warisan budaya bangsa. Salah satu aliran kepercayaan tersebut adalah Sunda Wiwitan. 

Sunda Wiwitan adalah sebuah aliran kepercayaan orang-orang Sunda dahulu. Mereka meyakini kepercayaan tersebut sebagai kepercayaan Sunda asli –kepercayaan masyarakat asli Sunda. Petunjuk tersebut ditemukan dalam naskah kuno yang terdapat dipedalaman suku Badui.
Kepercayaan Sunda Wiwitan terdiri dari dua kata “Sunda” dan “Wiwitan”. Menurut Djatikusumah sebagaimana dikutip Ira, Sunda dapat dimaknai dengan tiga konsep dasar, yaitu 1. Filosofis yang berarti bersih, indah, bagus cahaya dan seterusnya; 2. Etnis yang merujuk pada sebuah komunitas masyarakat layaknya masyarakat lainnya; 3. Geografis yang merujuk pada penamaan suatu wilayah. Dalam hal ini dibedakan dengan istilah Sunda Besar yang meliputi pulau besar di Indonesia –saat itu Nusantara- seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sunda Kecil yang meliputi Bali, Sumbawa, Lombok Flores dan lain-lain.

Sedangkan Wiwitan berarti asal mula. Dengan demikian, Sunda Wiwitan berarti Sunda asal atau Sunda yang asli. Dengan pengertian di atas, Sunda Wiwitan dimaknai sebagai aliran kepercayaan yang dianut oleh orang Sunda asli dahulu hingga saat ini –meski jumlahnya hanya sedikit saja. Kepercayaan Sunda Wiwitan juga dibuktikan dengan adanya temuan arkeologi diberbagai daerah seperti Situs Cipari Kabupaten Kuningan, situs Sigarahiang Kabupaten Kuningan, situs Arca Domas di Kanekes Kabupaten Lebak, serta yang paling fenomenal situs Gunung Padang di Kabupaten Cianjur. Temuan tersebut menunjukkan bahwa orang Sunda awal memiliki sistem kepercayaan.

Asal-usul Sunda Wiwitan tidak dapat diketahui penanggalannya secara pasti. Tidak seperti agama yang dapat diketahui kemunculannya dengan ditandai risalah kenabian. Tetapi, masyarakat pemeluk Sunda Wiwitan percaya bahwa awal manusia yaitu nabi Adam adalah orang yang Badui. Mereka percaya bahwa Adam adalah nenek moyang mereka. Dari kepercayaan mereka tersebut, penulis berasumsi bahwa Sunda Wiwitan juga merupakan kepercayaan yang Adam. Hal ini juga penulis dasarkan pada mitos tentang penciptaan alam.

“... Dalam mitos penciptaan Baduy dijelaskan bahwa ‘dunia pada waktu diciptakan masih kosong, kemudian Tuhan mengambil segenggam tanah dari bumi dan diciptakanlah Adam. Dari tulang rusuk Adam terciptalah Hawa. Tuhan juga menciptakan Batara Tujuh, yaitu: (1) Batara Tunggal, (2) Batara Ratu, (3) puun yang dititipkan di Kanekes (Cikeusik, Cikertawana, Cibeo), (4) Dalem, (5) Menak, (6) Putri Galuh dan (7) Nabi Muhammad yang diturunkan di Mekah. Batara Tujuh merupakan Sanghyang Tujuh yang bersemayam di Sasaka Domasi’”.

Terkait mitos penciptaan yang dipercayai Sunda Wiwitan di atas, penulis menggarisbawahi tentang kepercayaan mereka kepada nabi Adam dan Muhammad. Kepercayaan tersebut sama halnya dengan kepercayaan agama samawi –Yahudi, Kristen dan Islam. Selain itu, mereka juga memercayai adanya surga dan neraka.

Tentang Kanekes: Wilayah Kepercayaan Sunda Wiwitan

Kanekes merupakan sebuah desa di Kecamatan Luwih Damar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Desa Kanekes dibagi menjadi dua bagian yaitu: Kanekes Tangtu (Badui Dalam yang terdiri dari tiga kampung yaitu Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik) dan Kanekes Panamping (Badui Luar). Secara keseluruhan di desa Kanekes terdapat 58 kampung. Perangkat atau aparat desa Kanekes dikukuhkan oleh Pemerintah Bupati Lebak.
Keberadaan desa Kanekes menjadi perhatian sekaligus aset Kabupaten Lebak, mengingat di Kanekes masih terdapat suku Badui dengan aliran kepercayaannya, Sunda Wiwitan. Perhatian pemerintah juga dibuktikan dengan terbitnya Perda yang mengatur hak ulayat masyarakat Badui (Perda Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy). Pada Perda tersebut disebutkan bahwa:
Pasal 4: Segala peruntukkan lahan terhadap hak ulayat Masyarakat Baduy diserahkan sepenuhnya kepada Masyarakat Baduy.

Pasal 5: Hak Ulayat Masyarakat Baduy tidak meliputi bidang-bidang tanah yang: a). sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria; b). merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku

Pada Perda di atas, disebutkan bahwa pada tahun 1986 luas desa Kanekes adalah 5.101 ha. Adapun jumlah penduduk saat itu sebanyak 7.181 jiwa dengan 1.997 kepala keluarga (KK). Pada tahun 1994, jumlah tersebut menurun menjadi 6.483 jiwa dan meningkat kembali pada 2009 sebanyak 9.741 jiwa.

Masyarakat Badui Dalam memiliki batas-batas Desa sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Desa Bojongmenteng Kecamatan Leuwidamar, Desa Cisimeut Kecamatan Leuwidamar, dan Desa Nyagati Kecamatan Leuwidamar. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Parakan Beusi Kecamatan Bojongmanik, Desa Keboncau Kecamatan Bojongmanik, dan Desa Karang Nunggal Kecamatan Bojongmanik. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cikate Kecamatan Cijaku. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Karang Combong Kecamatan Muncang dan Desa Cilebang Kecamatan Muncang.

Wilayah pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan terdapat di kampung Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik (tiga kampung Badui Dalam). Menurut Abah Mursyid, ketiga kampung tersebut memiliki kekhasan tersendiri. Kampung Cibeo fokus hasil pertanian; Cikartawana fokus adat istiadat; dan Cikeusik fokus pada persoalan kepercayaan (agama). Masyarakat kampung tersebut memiliki sebutan yang berbeda-beda, yaitu: masyarakat Cibeo disebut Tangtu Parahiyang; Cikartawana disebut Tangtu Kadu Kujang; dan Ciseusik disebut Tangtu Pada Ageung.

Di desa Kanekes terdapat area terlarang untuk dikunjungi yaitu: hutan larangan; rumah tinggal pu’un kampung Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik; area Imah adat yang terdapat di setiap kampung; serta tempat lain yang diberitahukan perangkat desa. Selain aturan larangan kunjungan di atas, masyarakat Badui Dalam menolak kunjungan warga asing. Penulis tidak mendapatkan alasan secara detail tentang larangan orang asing berkunjung ke Badui Dalam. Mereka hanya diperbolehkan berkunjung di Badui Luar saja.

Masyarakat Kanekes atau Sunda Wiwitan memercayai tempat sakral dan suci yang tidak boleh dikunjungi oleh setiap orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan mengunjungi dan melakukan ritual disana. Tempat tersebut adalah Sasaka Pusaka Buana atau Pada Ageung dan Arca Domas. Kesakralan tempat ini dikarenakan keyakinan bahwa para Batara diturunkan ditempat tersebut. Tempat tersebut terdapat di kampung Cikeusik. Selain Arca Domas, tempat sakral lainnya adalah Sasaka Domas yang terletak di kampung Cibeo.

Ditengah perkembangan zaman yang begitu pesat, masyarakat Badui Dalam di Kanekes tetap berpendirian pada prinsip leluhur mereka. Mereka memilih jalan hidup primitif, meninggalkan “pernak-pernik” modernisasi dan globalisasi. Mereka tidak menggunakan alat komunikasi (Handphone) dan barang elektronik lainnya. Bahkan dalam pandangan masyarakat Badui Dalam, menaiki kendaraan (mobil) adalah termasuk perbuatan dosa. Oleh sebab itu, kemana pun mereka pergi ditempuh dengan jalan kaki, tanpa alas kaki (sandal). 

Meski masyarakat Badui Dalam terkesan primitif, bukan berarti mereka tidak mengenal mata uang. Hasil kerajinan tangan mereka dijual untuk mendapat uang dan “menyambung” hidup. Pada saat musim buah Duren, mereka membawanya keluar dari kampung Badui Dalam untuk menjual buah tersebut. Ada banyak pernak-pernik yang mereka perjualbelikan di kampung Badui Luar dan Dalam seperti kain tenun, tas anyaman, golok, perhiasan khas Badui dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar