Rabu, 23 November 2016

Filsafat Pendidikan Bevahiorisme


            Eksistensialisme pendidikan didasakan pada gagasan bahwa kita memiliki kehendak bebas untuk membentuk nature terdalam kita, sedangkan behaviorisme diambil dari kenyakinan bahwa kehendak bebas hanyalah sebuah ilusi. Bagi seorang behaviorisme murni, manusia-manusia dibentuk sepenuhnya oleh lingkungan eksternal mereka. Jika kita mengubah lingkungan seseorang, maka kita akan mengubah pikiran-pikirannya. Bersyaratkan penguatan positif saat para siswa menampilkan perilaku yang diinginkan, segera mereka akan belajar untuk menampilkan perilaku itu sendiri.

            Behaviorisme memiliki akar-akar pada awal 1900-an dalam kerja seorang psikolog eksperimental Rusia yang bernama Ivan Pavlov (1848-1936) dan psikolog dari Amerika ysng bernama John Watson (1878-1958). Dengan menyempurnakan studi-studi mereka, B. F. Skinner (1904-1989), seorang profesor dari Harvard, telah menjadi daya utama penyebaran behaviorisme dalam kultur Amerika modern. Skinner mengembangkan “kinner-box” yang kini terkenal, yang digunakannya untuk melatih hewan-hewan kecil dengan teknik-teknik behavioral. Dia juga menciptakan sistem misil Perang Dunia II yang menggunakan merparti-merpati untuk memandu lintasan peluru, sebuah tempat tidur udara yang kontroversial untuk memelihara bayi-bayi dalam sebuah lingkungan yang dikendalikan berdasarkan iklim(suasana), dan belajar terprogram.

·         Landasan Filosofis
          Behaviorisme menegaskan bahwa satu-satunya realitas adalah dunia fisik yang kita kenali melalui observasi ilmiah yang seksama. Manusia dan hewan dipandang sebagai kombinasi-kombinasi materi kompleks yang hanya bertindak sebagai respon bagi stimuli fisik yang timbul secara internal atau eksternal. Kita belajar, misalnya, untuk menghindari panas berlebihan melalui impuls-impuls rasa sakit yang dikirimkan oleh saraf ke otak. Belajar yang kompleks, seperti memahami materi dalam bab ini, juga profesor Anda atau orang tua atau orang kenyamanan dari kursi yang Anda gunakan saat membaca bab ini.
          
        Fitrah manusia, menurut behaviorisme, tidaklah baik atau buruk, tetapi semata hasil dari lingkungn manusia. Bukan fitrah manusia, melainkan lingkungan-lingkungan yang buruklah yang bertanggung jawab atas kerusakan orang-orang perbuat semacam itu hanyalah mitos yang membuat kita merasa lebih baik tetapi tidak berhubungan dengan observasi ilmiah.
          
        Berkenaan dengan apresiasi estetik, para behavioris berpandangan bahwa pemahaman kita tentang keindahan terbentuk oleh lingkungan. Apakah Anda pernah bertanya-tanya mengapa sesuatu dianggap indah oleh budaya lain tampak buruk bagi Anda? Behaviorisme mengatakan bahwa alasannya terdapat pada bagaimana lingkungan  telah membentuk selera-selera Anda. Contoh bagusnya adalah pengaruh media terhadap penilaian Anda tentang gaya-gaya pakaian. Dalam waktu beberapa bulan atau tahun, media dapat meyakinkan Anda untuk menganggap suatu gaya pakaian yang semula Anda anggap tidak menarik menjadi indah bagi Anda.    


SUMBER

Prof. Wahyudi. 2008. Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta : CV. Ipa Ahong.
 

Filsafat Pendidikan Eksistensialisme




Sebelum memasuki pembahasan pokok tentang filsafat pendidikan eksistensialisme serta masalah-masalah yang berhubungan dengannya, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu eksistensialisme. Secara garis besar eksistensialisme berasal dari kata eksistensi yang berarti keberadaan atau wujud sesuatu yang membedakan antara suatu benda dengan yang lain.

[1] Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata eks yang berarti diluar dan sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai beridir sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Sedangkan eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.

[2]Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.

[3] Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah.

[4] Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang di miliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.

[5] Pandangannya tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk”.

[6] Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai “Eksistensialisme’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang di kehendaki aliran Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.
 
Dari hal inilah filsafat eksistensialisme memandang manusia sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih kepada sesamanya. Filsafat eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial, hanya arti pengalaman ini berbeda-beda.

[7] Beberapa ciri eksistensialisme inilah yang diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, juga dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkrit.
Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.

Dapat di jelaskan lagi sebagai berikut:


·         Eksistensialisme sebagai suatu istilah filosofis

Gerakan eksistensialisme dalam pendidikan didasarkan pada suatu sikap intelektual yang para filsuf istilahkan sebagai eksistensialisme. Dirintis di Eropa pada abad ke-19, eksistensialisme dikaitkan dengan pemikir-pemikir berbeda seperti soren kierkegaard (1813-1855), seorang penganut kristen yang taat, dan friedrich Nietzsche (1811-1900) yang menulis buku berjudul The Antichrist dan melemparkan frase God is dead. Meski para eksistensialis ternama akanlah tidak sepakat satu sama lainnya mengenai banyak perkara filosofis yang mendasar, namun mereka sama-sama menjunjung tinggi individualisme. Khususnya, mereka berpandangan bahwa pendekatan-pendekatan tradisional tidak cukup menghargai pertimbangan-pertinbangan unik dari setiap individu.
      Formulasi eksistensialisme klasik dari Jean Paul Sartre, bahwa “ eksistensi mendahului esensi” berarti bahwa tidak ada ‘nature’ manusia yang bersifat bawaan lahir dan universal. Kita lahir dan ada, dan kemidian kita sendirilah yang secara bebas menentukan esensi kita (yaitu, ‘nature’ kita yang paling dalam). Beberapa filsuf yang biasa dikaitkan denagan tradisi eksistensialis tidak pernah sepenuhnya mengadopsi prinsip “ eksistensi mendahului esensi”. Namun demikian, prinsip itu bersifatfundamental bagi gerakan eksistensialis dalam pendidikan.            

·         Eksistensialisme sebagai suatu filsafat pendidikan

Eksistensialisme pendidikan muncul dari penolakan kuat terhadap pendekatan pendidikan esensialis tradisional. Eksistensialisme menolak eksistensi sumber apapun untuk kebenaran otoritatif objektif tentang metafisika, epistemologi, dan etika. Para eksistensialis berpandangan bahwa individu-individu bertanggung jawab untuk manentukan untuk menentukan sendiri apa yang “benar” atau “salah”, “indah” atau “buruk”, dsb. Bagi mereka, idak terdapat bebtuk “nature” manusiawi yang universal; masing-masing dari kita memiliki kehendak bebas untuk berkembang sesuai kecocokan kita sendiri.

Didalam ruang kelas eksistensialis, pokok bahasan (subject matter; mata pelajaran) berada pada tempat kedua untuk membantu para siswa memahami dan mengapresiasi diri mereka sendiri sebagai individu-individu yang unik yang menerima tanggung jawab sepenuhnya atas pikiran, perasaan, dan tindakan mereka sendiri. Peran guru adalah membantu siwa-siswa menentukan esensi mereka sendiri dengan menghadapkan mereka pada berbagai jalur yang dapat mereka ambil dalam kehidupan dan menciptakan lingkungan dimana mereka dapat bebas menentukan cara yang lebih mereka pilih. Karena perasaan tidak lepas dari penalaran dalam pembuatan keputusan, maka para eksistensialis menghendaki pendidikan diri secara utuh, bukan hanya untuk pikiran.

Meski banyak edukator eksistensialis memberikan struktur kurikuler tertentu, namun eksistensialisme, lebih dari filsafat-filsafat pendidikan lain, memberikan kepada para siswa kebebasan besar untuk memilih mata pelajaran mereka sendiri. Didalam sebuah kurikulum eksistensialisis, siswa-siswi diberi rentang pilihan yang luas.

Sejauh staff, lebih dari para siswa, mempengaruhi kurikulum, mata pelajaan-mata pelajaran humaniora (humanities) biasanya diberikan penekanan sangat besar. Humaniora digali sebagai alat untuk bebas berkreatifitas dan mengekspresikan diri. Misalnya, dari pada menekankan peristiwa-peristiwa sejarah, para eksistensialis lebih berfokus pada tindakan-tindakan dari para tokoh sejarah, yang masing-masingnya dapat menjadi teladan yang mungkin  bagi perilaku para siswa sendiri. Di sisi lain Humaniora, matematika dan sains-sains alam tidak diberi penekanan besar, barang kali karena mata pelajaran-mata pelajarannya dianggap “dingin”, “kering”, “objektif”, dan oleh karena itu kurang bermanfaat bagi  kesadaran diri. Selain itu, pendidikan vokasional dipandang lebih sebagai suatu cara untuk mengajarkan kepada siswa tentang diri mereka sendiri dan potensi mereka dari pada sebagai pengajaran mencari nafkah. Dalam mengajarkan seni, eksistensialisme mendorong kreatifitas dan imajinasi individual daripada sekedar menjiplak dan meniru model-model yang telah mapan.

Metode-metode eksistensialis berfokus pada individu. Belajar memiliki kecepatan dan arah sesuai masng-masing individu, dan meliputi banyak kontak individu dengan guru, yang memiliki hubungan yang tebuka dan jujur dengan tiap siswa. Meski elemen-elemen eksistensialisme sekali-kali muncul disekolah-sekolah negeri, namun filsafat ini telah lebih diterima disekolah-sekolah swasta dan sekolah-sekolah negeri alternatif yang didirikan pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an.

Filsafat Pendidikan Perennialisme




Perennialisme berarti “abadi” seperti bunga perennial yang muncul dari tahun ke tahun. Dengan anggapan bahwa gagasan yang telah bertahan selama berabad-abad masih relevan seperti gagasan itu pertama kali di konsepsikan dan gagasan ini seharusnya menjadi fokus pendidikan. Akar-akar dari perennialisme tertanam dalam filsafat Plato dan Aristoteles, berikut dalam filsafat St. Thomas Aquinas (Itali ; Abad ke-13). Secara umum kaum perennialisme di bagi menjadi dua kelompok : mereke yang mendukung pendeekatan keagamaan kepada pendidikan di pelopori oleh Aquinas, dan para pengikut pendekatan sekuler (Amerika ; Abad ke-20) oleh Robert Hutchins dan Mortimer Adler. Aliran perennialisme berupaya untuk membangun kemampuan bernalar dan memendang pelatihan sebagai perkembangan daya-daya rasional.

·         Kesamaan-kesamaan dengan Esensialisme
Hutchins dan Adler memandang perennialisme diperlukan untuk esensialisme sehingga menurut mereka banyak kesamaan. Keduanya memiliki tujuan membangun. Pertama, kekuatan-kekuatan  intelektual semua siswa. Kedua, kualitas-kualitas moral. Selain itu, keduanya mendukung ruang kelas yang berpusat pada guru. Untuk mencapai tujuan tersebut guru tidak membiarkan minat atau pengalaman para siswanya di pendam saja melainkan menerapkan teknik-teknik kreatif dan metode-metode yang benar yang di yakini kondusif untuk kedisiplinan pikiran-pikiran para siswa. Pada tahun 1982 kurikulum dalam program paideia dipublikasikan. Mortimer Alder merekomendasikan kurikulum tunggal untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah dalam kasus kekurangan pendidikan. Mereka berpendapat bahwa kita berfikir yang seharusnya lebih mementingkan yang susah/sulit dari pada yang mudah, agar kita terbiasa menggunakan keterampilan bernalar dalam menyelesaikannya

·         Perbedaan-perbedaan esensialisme
Esensialisme berakar pada suatu waktu/tempat tertentu berbanding terbalik dengan perennialisme. Esensialisme sangat mencolok pada nilai eksperimentasi ilmiah/sainsuntuk memperoleh pengetahuan, tidak demikian halnya dengan perennialisme. Esensialisme menyatakan bahwa dunia nyata adalah dunia yang kita alami, sedangkan perennialisme lebih terbuka pada gagasan bahwa bentuk spiritual universal (seperti yang dikemukakan oleh Plato). Dalam kurikulum perennialisme berupaya membantu siswa memahami gagasan-gagasan dari wawasan untuk memahami kondisi manusiawi. Perennialisme menekankan dalam mengajarkan siswa agar menggunakan konsep-konsep dan menjelaskannya untuk dapat lebih bemakna bagi siswa. Kaun perrennialisme lebih peduli dan berminat mengajar kepada siswa tentang konsep missal konsep teknologi komputer, dari pada kaum esensialisme.