Rabu, 23 November 2016

Filsafat Pendidikan Eksistensialisme




Sebelum memasuki pembahasan pokok tentang filsafat pendidikan eksistensialisme serta masalah-masalah yang berhubungan dengannya, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu eksistensialisme. Secara garis besar eksistensialisme berasal dari kata eksistensi yang berarti keberadaan atau wujud sesuatu yang membedakan antara suatu benda dengan yang lain.

[1] Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata eks yang berarti diluar dan sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai beridir sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Sedangkan eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.

[2]Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.

[3] Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah.

[4] Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang di miliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.

[5] Pandangannya tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk”.

[6] Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai “Eksistensialisme’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang di kehendaki aliran Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.
 
Dari hal inilah filsafat eksistensialisme memandang manusia sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih kepada sesamanya. Filsafat eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial, hanya arti pengalaman ini berbeda-beda.

[7] Beberapa ciri eksistensialisme inilah yang diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, juga dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkrit.
Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.

Dapat di jelaskan lagi sebagai berikut:


·         Eksistensialisme sebagai suatu istilah filosofis

Gerakan eksistensialisme dalam pendidikan didasarkan pada suatu sikap intelektual yang para filsuf istilahkan sebagai eksistensialisme. Dirintis di Eropa pada abad ke-19, eksistensialisme dikaitkan dengan pemikir-pemikir berbeda seperti soren kierkegaard (1813-1855), seorang penganut kristen yang taat, dan friedrich Nietzsche (1811-1900) yang menulis buku berjudul The Antichrist dan melemparkan frase God is dead. Meski para eksistensialis ternama akanlah tidak sepakat satu sama lainnya mengenai banyak perkara filosofis yang mendasar, namun mereka sama-sama menjunjung tinggi individualisme. Khususnya, mereka berpandangan bahwa pendekatan-pendekatan tradisional tidak cukup menghargai pertimbangan-pertinbangan unik dari setiap individu.
      Formulasi eksistensialisme klasik dari Jean Paul Sartre, bahwa “ eksistensi mendahului esensi” berarti bahwa tidak ada ‘nature’ manusia yang bersifat bawaan lahir dan universal. Kita lahir dan ada, dan kemidian kita sendirilah yang secara bebas menentukan esensi kita (yaitu, ‘nature’ kita yang paling dalam). Beberapa filsuf yang biasa dikaitkan denagan tradisi eksistensialis tidak pernah sepenuhnya mengadopsi prinsip “ eksistensi mendahului esensi”. Namun demikian, prinsip itu bersifatfundamental bagi gerakan eksistensialis dalam pendidikan.            

·         Eksistensialisme sebagai suatu filsafat pendidikan

Eksistensialisme pendidikan muncul dari penolakan kuat terhadap pendekatan pendidikan esensialis tradisional. Eksistensialisme menolak eksistensi sumber apapun untuk kebenaran otoritatif objektif tentang metafisika, epistemologi, dan etika. Para eksistensialis berpandangan bahwa individu-individu bertanggung jawab untuk manentukan untuk menentukan sendiri apa yang “benar” atau “salah”, “indah” atau “buruk”, dsb. Bagi mereka, idak terdapat bebtuk “nature” manusiawi yang universal; masing-masing dari kita memiliki kehendak bebas untuk berkembang sesuai kecocokan kita sendiri.

Didalam ruang kelas eksistensialis, pokok bahasan (subject matter; mata pelajaran) berada pada tempat kedua untuk membantu para siswa memahami dan mengapresiasi diri mereka sendiri sebagai individu-individu yang unik yang menerima tanggung jawab sepenuhnya atas pikiran, perasaan, dan tindakan mereka sendiri. Peran guru adalah membantu siwa-siswa menentukan esensi mereka sendiri dengan menghadapkan mereka pada berbagai jalur yang dapat mereka ambil dalam kehidupan dan menciptakan lingkungan dimana mereka dapat bebas menentukan cara yang lebih mereka pilih. Karena perasaan tidak lepas dari penalaran dalam pembuatan keputusan, maka para eksistensialis menghendaki pendidikan diri secara utuh, bukan hanya untuk pikiran.

Meski banyak edukator eksistensialis memberikan struktur kurikuler tertentu, namun eksistensialisme, lebih dari filsafat-filsafat pendidikan lain, memberikan kepada para siswa kebebasan besar untuk memilih mata pelajaran mereka sendiri. Didalam sebuah kurikulum eksistensialisis, siswa-siswi diberi rentang pilihan yang luas.

Sejauh staff, lebih dari para siswa, mempengaruhi kurikulum, mata pelajaan-mata pelajaran humaniora (humanities) biasanya diberikan penekanan sangat besar. Humaniora digali sebagai alat untuk bebas berkreatifitas dan mengekspresikan diri. Misalnya, dari pada menekankan peristiwa-peristiwa sejarah, para eksistensialis lebih berfokus pada tindakan-tindakan dari para tokoh sejarah, yang masing-masingnya dapat menjadi teladan yang mungkin  bagi perilaku para siswa sendiri. Di sisi lain Humaniora, matematika dan sains-sains alam tidak diberi penekanan besar, barang kali karena mata pelajaran-mata pelajarannya dianggap “dingin”, “kering”, “objektif”, dan oleh karena itu kurang bermanfaat bagi  kesadaran diri. Selain itu, pendidikan vokasional dipandang lebih sebagai suatu cara untuk mengajarkan kepada siswa tentang diri mereka sendiri dan potensi mereka dari pada sebagai pengajaran mencari nafkah. Dalam mengajarkan seni, eksistensialisme mendorong kreatifitas dan imajinasi individual daripada sekedar menjiplak dan meniru model-model yang telah mapan.

Metode-metode eksistensialis berfokus pada individu. Belajar memiliki kecepatan dan arah sesuai masng-masing individu, dan meliputi banyak kontak individu dengan guru, yang memiliki hubungan yang tebuka dan jujur dengan tiap siswa. Meski elemen-elemen eksistensialisme sekali-kali muncul disekolah-sekolah negeri, namun filsafat ini telah lebih diterima disekolah-sekolah swasta dan sekolah-sekolah negeri alternatif yang didirikan pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar