Konsep
Ketuhanan dan Ajaran Sunda Wiwitan
Aliran
kepercayaan Sunda Wiwitan menganut kepercayaan monoteis. Penyembahan mereka
tujukan pada Sang Hyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut sebagai Batara
Tunggal, Batara Jagat dan Batara Seda Niskala. Pengikut Sunda Wiwitan
mempercayai bahwa keberadaan tuhan mereka adalah di Buwana Nyncung (buana
atas), bersemanyam disana. Mereka meyakini bahwa dengan mempercayai sepenuhnya
Sang Hyang Keresa, maka kesejahteraan akan tercapai. Disamping keyakinannya
kepada Hyang Keresa, mereka juga meyakini bahwa ada kekuatan gaib yang menjaga
tanah mereka, karuhun/ leluhur. Masyarakat Badui penganut Sunda Wiwitan
menganggap bahwa Nabi mereka adalah Nabi Adam.
Namun demikian,
adapula yang menganggap bahwa Sunda Wiwitan adalah penganut animisme dan
dinamisme. Kepercayaan yang bersifat aministik juga dikuatkan oleh Roger L.
Dixson. Menurut Roger, mereka –penganut Sunda Wiwitan- mempercayai bahwa terdapat
roh-roh yang menghuni pohon, batu-batuan dan benda mati lainnya. Roh tersebut
juga terdiri dari roh jahat dan roh baik.
Pimpinan Sunda
Wiwitan adalah sekaligus pimpinan suku Badui (Pu’un), yang juga dianggap
sebagai keturunan batara. Setiap aturan yang diperintahkan harus dikerjakan.
Kepercayaan Sunda Wiwitan juga memiliki rukun, yaitu: Ngukus (sesembahan
menyan), Ngawalu, Muja (melakukan pemujaan/mentuhankan sesuatu), Ngalaksa,
Ngalanjak, Ngapundayan, dan Ngareksauken Sasaka Pusaka.
Ada beberapa
ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi masyarakat Badui Dalam penganut Sunda
Wiwitan, yaitu Pikukuh. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi mereka,
tetapi juga pengunjung di lingkungan Badui Dalam. Ketentuan tersebut berisi:
(1) Dilarang merubah jalan; (2) Dilarang mengubah bentuk tanah: (3) Dilarang
masuk hutan titipan; (4) Dilarang menggunakan bahan kimia; (5) Dilarang menanam
tanaman budidaya perkebunan; (6) Dilarang memelihara binatang ternak kaki
empat; (7) Dilarang berladang sendiri-sendiri, harus sesuai ketentuan adat; (8)
Dilarang berpakaian sembarangan, Badui dalam berpakaian putih dengan
menggunakan ikat kepala, sedangkan Badui luar berpakaian hitam dengan
menggunakan ikat kepala.
Mengenai bentuk
ritual keagamaan, Sunda Wiwitan menganggap bahwa kehidupan sehari-hari mereka
sebagai ibadah harian. Mereka menekankan nilai-nilai kebaikan dalam perbuatan
sehari-hari. Selain itu, ada beberapa ritual kepercayaan lainnya –bukan harian-
seperti: Kawalu, yaitu puasa tanpa sahur selama tiga bulan dan Mutih atau puasa
sunah. Pada saat saat dilakukan ritual puasa Kawalu, tidak boleh ada pengunjung
di perkampungan mereka, Badui Dalam.
Kepercayaan
Sunda Wiwitan mempunyai hukum adat yang seseorang yang melanggar hukum. Bagi
seorang yang melanggar ada teguran dari kepala adat. Selain itu juga disediakan
“rutan” untuk orang-orang yang melanggar hukum. Rutan tersebut hanya seperti
rumah biasa dengan beberapa orang yang mengawasi kegiatan si tahanan –pelanggar
hukum.
Terdapat hal
yang “unik” bagi masyarakat Badui Dalam penganut kepercayaan Sunda Wiwitan.
Mereka tidak mengenal cerai dan poligami. Bagi mereka, cerai dan poligami
adalah sesuatu yang dilarang. Abah Mursyid menyebutkan bahwa aturan tersebut
telah berlaku turun-temurun. Bagi orang yang ingin menganut kepercayaan Sunda
Wiwitan, harus melewati ritual khusus yang disebut sertu.
Pada kesimpulannya, pada tulisan ini, penulis menggunakan term
“kepercayaan”, bukan menggunakan term “agama” dalam menyebut Sunda Wiwitan. Hal
ini penulis dasarkan bahwa Sunda Wiwitan tidak memiliki kitab suci tertulis
laiknya agama. Oleh sebab itu, penulis menyebut kepercayaan Sunda Wiwitan bukan
agama Sunda Wiwitan.
Eksistensi
Sunda Wiwitan dalam Konteks Bernegara
Sunda Wiwitan
mengalami dialektika dengan pemerintah. Pada satu sisi, negara harus menghargai
agama dan kepercayaan yang dipeluk oleh warganya. Tetapi pada sisi lain, Sunda
Wiwitan dianggap bukan sebagai agama, melainkan aliran kepercayaan lokal.
Bahkan negara menganggap sebagai budaya dan tradisi semata. Hal ini
didasarkan pada definisi agama yang ditetapkap pemerintah, bahwa agama adalah
“Sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci memuat ajaran yang
jelas, mempunyai nabi dan kitab suci”. Sedangkan Sunda Wiwitan sendiri tidak
memiliki kitab suci yang “tertulis”. Hal ini menyebabkan kepercayaan Sunda
Wiwitan sulit diakui pemerintah. Pemerintah kemudian memasukkan mereka sebagai
penganut agama Hindu.
Ketika masa
presiden Sukarno (pada awal 1960), aliran kepercayaan Sunda Wiwitan pernah
dituding sebagai aliran yang menodai agama Islam. Beberapa muslim saat ini
mengadukan bahwa aliran Sunda Wiwitan yang sarat dengan ajaran mistisisme
mengadukan kepada pemerintah. Tidak lama kemudian, tepatnya pada Januari 1965,
presiden mengeluarkan aturan tentang pelanggaran bagi orang yang melecehkan
agama.
Beberapa
penelitian mengungkap adanya kebijakan pemerintah yang “menyandra” pemeluk
aliran kepercayaan Sunda Wiwitan. Kebijakan pemerintah yang dianggap meresahkan
adalah bahwa pernikahan seorang pemeluk Sunda Wiwitan dianggap tidak sah.
Keadaan ini terjadi pada tahun 1965 di Kuningan Jawa Barat. Hal ini
mengakibatkan ribuan pemeluk Sunda Wiwitan berpindah ke agama Katolik. Selain
itu, kebijakan yang dianggap “mendiskriminasi” menimpa salah satu pemeluk Sunda
Wiwitan, Dewi Kanti. Pernikahan Dewi Kanti dengan pria beragama Katolik tidak
mendapat pengakuan dari pemerintah. Petugas pencatatan sipil enggap mencatat
karena Dewi Kanti bukanlah perempuan beragama. Hingga tahun 2012 lalu, penganut
Sunda Wiwitan di Kuningan Jawa Barat tetap tidak mendapatkan identitas
kependudukan.
Sebagai warga
negara, masyarakat Badui Dalam penganut Sunda Wiwitan menginginkan pengakuan
dari pemerintah, negara. Menurut Abah Mursyid, masyarakat Badui Dalam penganut
Sunda Wiwitan mengakui kedaulatan negara Indonesia. Tetapi mereka tidak dapat
mencantumkan kepercayaan mereka pada kartu identitas penduduk (KTP). Dalam
upayanya mendapat pengakuan tersebut, tokoh masyarakat Badui berupaya
mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Akibat tidak dicantumkannya Sunda
Wiwitan pada KTP, mayarakat pun banyak tidak bersedia membuat KTP. Sehingga
dalam gelaran pemilihan umum, mereka tidak dapat berpartisipasi. Namun
demikian, masyarakat Badui tetap akan mendukung kedaulatan negara Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar