Kajian terhadap
aliran kepercayaan lokal menyita minat para peneliti. Hal ini setidaknya
didasari oleh: “uniknya” aliran kepercayaan tersebut dibanding agama-agama
besar yang diakui negara; identitas aliran kepercayaan lokal masih memengaruhi
penganut agama-agama besar di Indonesia; kebijakan pemerintah negara yang
terkadang tidak mengakui eksistensi mereka; dan keberadaan aliran kepercayaan
lokal yang tetap eksis hingga sekarang.
Indonesia
memiliki keragaman bahasa, suku dan agama. Sebagai contoh, adanya tujuh agama
di Indonesia yang diakui pemerintah. Namun demikian, masih banyak lagi
kepercayaan (seperti agama) yang berada di Indonesia, terutama daerah-daerah
pedalaman. Aliran kepercayaan yang berkembang dalam jumlah banyak diakui
merupakan warisan budaya bangsa. Salah satu aliran kepercayaan tersebut adalah
Sunda Wiwitan.
Sunda Wiwitan
adalah sebuah aliran kepercayaan orang-orang Sunda dahulu. Mereka meyakini
kepercayaan tersebut sebagai kepercayaan Sunda asli –kepercayaan masyarakat
asli Sunda. Petunjuk tersebut ditemukan dalam naskah kuno yang terdapat
dipedalaman suku Badui.
Kepercayaan
Sunda Wiwitan terdiri dari dua kata “Sunda” dan “Wiwitan”. Menurut Djatikusumah
sebagaimana dikutip Ira, Sunda dapat dimaknai dengan tiga konsep dasar, yaitu
1. Filosofis yang berarti bersih, indah, bagus cahaya dan seterusnya; 2. Etnis
yang merujuk pada sebuah komunitas masyarakat layaknya masyarakat lainnya; 3.
Geografis yang merujuk pada penamaan suatu wilayah. Dalam hal ini dibedakan
dengan istilah Sunda Besar yang meliputi pulau besar di Indonesia –saat itu
Nusantara- seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sunda Kecil yang meliputi
Bali, Sumbawa, Lombok Flores dan lain-lain.
Sedangkan
Wiwitan berarti asal mula. Dengan demikian, Sunda Wiwitan berarti Sunda asal
atau Sunda yang asli. Dengan pengertian di atas, Sunda Wiwitan dimaknai sebagai
aliran kepercayaan yang dianut oleh orang Sunda asli dahulu hingga saat ini
–meski jumlahnya hanya sedikit saja. Kepercayaan Sunda Wiwitan juga dibuktikan
dengan adanya temuan arkeologi diberbagai daerah seperti Situs Cipari Kabupaten
Kuningan, situs Sigarahiang Kabupaten Kuningan, situs Arca Domas di Kanekes
Kabupaten Lebak, serta yang paling fenomenal situs Gunung Padang di Kabupaten
Cianjur. Temuan tersebut menunjukkan bahwa orang Sunda awal memiliki sistem
kepercayaan.
Asal-usul Sunda
Wiwitan tidak dapat diketahui penanggalannya secara pasti. Tidak seperti agama
yang dapat diketahui kemunculannya dengan ditandai risalah kenabian. Tetapi,
masyarakat pemeluk Sunda Wiwitan percaya bahwa awal manusia yaitu nabi Adam
adalah orang yang Badui. Mereka percaya bahwa Adam adalah nenek moyang mereka.
Dari kepercayaan mereka tersebut, penulis berasumsi bahwa Sunda Wiwitan juga
merupakan kepercayaan yang Adam. Hal ini juga penulis dasarkan pada mitos
tentang penciptaan alam.
“... Dalam mitos penciptaan Baduy
dijelaskan bahwa ‘dunia pada waktu diciptakan masih kosong, kemudian Tuhan mengambil
segenggam tanah dari bumi dan diciptakanlah Adam. Dari tulang rusuk Adam
terciptalah Hawa. Tuhan juga menciptakan Batara Tujuh, yaitu: (1) Batara
Tunggal, (2) Batara Ratu, (3) puun yang dititipkan di Kanekes (Cikeusik,
Cikertawana, Cibeo), (4) Dalem, (5) Menak, (6) Putri Galuh dan (7) Nabi
Muhammad yang diturunkan di Mekah. Batara Tujuh merupakan Sanghyang Tujuh yang
bersemayam di Sasaka Domasi’”.
Terkait mitos
penciptaan yang dipercayai Sunda Wiwitan di atas, penulis menggarisbawahi
tentang kepercayaan mereka kepada nabi Adam dan Muhammad. Kepercayaan tersebut
sama halnya dengan kepercayaan agama samawi –Yahudi, Kristen dan Islam. Selain
itu, mereka juga memercayai adanya surga dan neraka.
Tentang
Kanekes: Wilayah Kepercayaan Sunda Wiwitan
Kanekes
merupakan sebuah desa di Kecamatan Luwih Damar, Kabupaten Lebak Provinsi
Banten. Desa Kanekes dibagi menjadi dua bagian yaitu: Kanekes Tangtu
(Badui Dalam yang terdiri dari tiga kampung yaitu Cibeo, Cikartawana dan
Cikeusik) dan Kanekes Panamping (Badui Luar). Secara keseluruhan di desa
Kanekes terdapat 58 kampung. Perangkat atau aparat desa Kanekes dikukuhkan oleh
Pemerintah Bupati Lebak.
Keberadaan desa
Kanekes menjadi perhatian sekaligus aset Kabupaten Lebak, mengingat di Kanekes
masih terdapat suku Badui dengan aliran kepercayaannya, Sunda Wiwitan.
Perhatian pemerintah juga dibuktikan dengan terbitnya Perda yang mengatur hak
ulayat masyarakat Badui (Perda Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy). Pada Perda tersebut disebutkan
bahwa:
Pasal 4: Segala peruntukkan lahan terhadap
hak ulayat Masyarakat Baduy diserahkan sepenuhnya kepada Masyarakat Baduy.
Pasal 5: Hak Ulayat Masyarakat Baduy tidak
meliputi bidang-bidang tanah yang: a). sudah dipunyai oleh perseorangan atau
badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria;
b). merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh
instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan dan
tata cara yang berlaku
Pada Perda di
atas, disebutkan bahwa pada tahun 1986 luas desa Kanekes adalah 5.101 ha.
Adapun jumlah penduduk saat itu sebanyak 7.181 jiwa dengan 1.997 kepala
keluarga (KK). Pada tahun 1994, jumlah tersebut menurun menjadi 6.483 jiwa dan
meningkat kembali pada 2009 sebanyak 9.741 jiwa.
Masyarakat
Badui Dalam memiliki batas-batas Desa sebagai berikut: sebelah utara berbatasan
dengan Desa Bojongmenteng Kecamatan Leuwidamar, Desa Cisimeut Kecamatan
Leuwidamar, dan Desa Nyagati Kecamatan Leuwidamar. Sebelah barat berbatasan
dengan Desa Parakan Beusi Kecamatan Bojongmanik, Desa Keboncau Kecamatan
Bojongmanik, dan Desa Karang Nunggal Kecamatan Bojongmanik. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cikate Kecamatan
Cijaku. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Karang Combong
Kecamatan Muncang dan Desa Cilebang
Kecamatan Muncang.
Wilayah pemeluk
kepercayaan Sunda Wiwitan terdapat di kampung Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik
(tiga kampung Badui Dalam). Menurut Abah Mursyid, ketiga kampung tersebut
memiliki kekhasan tersendiri. Kampung Cibeo fokus hasil pertanian; Cikartawana
fokus adat istiadat; dan Cikeusik fokus pada persoalan kepercayaan (agama).
Masyarakat kampung tersebut memiliki sebutan yang berbeda-beda, yaitu:
masyarakat Cibeo disebut Tangtu Parahiyang; Cikartawana disebut Tangtu
Kadu Kujang; dan Ciseusik disebut Tangtu Pada Ageung.
Di desa Kanekes
terdapat area terlarang untuk dikunjungi yaitu: hutan larangan; rumah tinggal
pu’un kampung Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik; area Imah adat yang terdapat di
setiap kampung; serta tempat lain yang diberitahukan perangkat desa. Selain
aturan larangan kunjungan di atas, masyarakat Badui Dalam menolak kunjungan
warga asing. Penulis tidak mendapatkan alasan secara detail tentang larangan
orang asing berkunjung ke Badui Dalam. Mereka hanya diperbolehkan berkunjung di
Badui Luar saja.
Masyarakat
Kanekes atau Sunda Wiwitan memercayai tempat sakral dan suci yang tidak boleh
dikunjungi oleh setiap orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang
diperbolehkan mengunjungi dan melakukan ritual disana. Tempat tersebut adalah Sasaka
Pusaka Buana atau Pada Ageung dan Arca Domas. Kesakralan
tempat ini dikarenakan keyakinan bahwa para Batara diturunkan ditempat
tersebut. Tempat tersebut terdapat di kampung Cikeusik. Selain Arca Domas,
tempat sakral lainnya adalah Sasaka Domas yang terletak di kampung Cibeo.
Ditengah
perkembangan zaman yang begitu pesat, masyarakat Badui Dalam di Kanekes tetap
berpendirian pada prinsip leluhur mereka. Mereka memilih jalan hidup primitif,
meninggalkan “pernak-pernik” modernisasi dan globalisasi. Mereka tidak
menggunakan alat komunikasi (Handphone) dan barang elektronik lainnya.
Bahkan dalam pandangan masyarakat Badui Dalam, menaiki kendaraan (mobil) adalah
termasuk perbuatan dosa. Oleh sebab itu, kemana pun mereka pergi ditempuh
dengan jalan kaki, tanpa alas kaki (sandal).
Meski
masyarakat Badui Dalam terkesan primitif, bukan berarti mereka tidak mengenal
mata uang. Hasil kerajinan tangan mereka dijual untuk mendapat uang dan
“menyambung” hidup. Pada saat musim buah Duren, mereka membawanya keluar dari
kampung Badui Dalam untuk menjual buah tersebut. Ada banyak pernak-pernik yang
mereka perjualbelikan di kampung Badui Luar dan Dalam seperti kain tenun, tas
anyaman, golok, perhiasan khas Badui dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar