Sabtu, 24 Desember 2016

Manusia Paradoks



Tak bisa disangkal bahwa munusia adalah makhluk yang multidimensional, paradoksal, dan dinamis. Dinamika itu berhubungan dengan segala relasinya yang eksistensial. Sehingga manusia maju dengan membangun dunianya, menuju diri sejati dengan memurnikan relasi dengan sesamanya. Juga menuju keunikan sebagai pribadi dengan mempererat hubungannya dengan Tuhan. Oleh karena itu, dinamika manusia berbeda dengan dinamika yang khas di dunia alam. Jika di dunia alam berlaku diterminisme, maka dinamika manusia ada di tangan manusia sendiri. sebab, manusia bebas dan bertanggungjawab, tapi dalam kebebasan itu hadir suatu dorongan metafisis, suatu orientasi dasariah untuk menuju diri yang sejati.

Lantas manakah kekhasan manusia di tengah-tengah makhluk lainnya? Inilah pertanyaan yang terus-menerus terulang dalam sejarah manusia, bahkan dalam kehidupan manusia secara pribadi. Pandangan atas manusia pun beranekaragam. Keanekaragaman pandangan ini tampak dalam keanekaragaman definisi. Definisi paling terkenal datang dari Ariestoteles yang menyatakan: “Manusia adalah mahluk animal rational”(hewan yang berakal budi). Hal ini menurut logika Ariestoteles bagian pertama, suatu definisi harus meneyebut jenisnya yang paling dekat (dalam hal ini animal), sedangkan bagian kedua harus menyebut hal yang spesifik (di sini berakal budi). Rumusan semacam itu banyak muncul dalam filsafat manusia. sehingga manusia menjadi pokok bahasan banyak ilmu. Tiap ilmu mempunyai kekhasannya sendiri. eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat dewasa ini disamping aliran filsafat lain, seperti filsafat analitik, bahasa, dan filsafat strukturalisme. Perbedaan antara aliran yang satu dengan yang lainnya disebabkan oleh titik pangkal yang berbeda. Materialisme, misalnya, melihat materi sebagai dasar segala apa yang ada (material reductionesm). Bagi Spiritualisme, roh adalah kenyataan satu-satunya (spiritual reductionism).

Atas dasar itu, Adelbert Snijders, dalam buku berjudul Antropologi Filsafat, Manusia Paradoks dan Seruan ini menyatakan bahwa eksistensialisme dapat disebut fenomenologi eksistensial kerena merupakan suatu gabungan antara eksistensialisme Kierkegaard (1813-1855) dan fenmenologi Edmund Husserl (1859-1938). Gaya berfilsafat seperti ini kemudian dikembangkan Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1873), M. Merleau Ponty (1908-1961), yang masing-masing dengan caranya sendiri. Dan dalam perkembangan selanjutnya dibahas oleh orang-orang seperti F. Copleston di Inggris, Jean Wahl di Paris, A. Dondeyne di Louvain, W.A. Luijpen dan R. Barker di Belanda  (halaman 24.)

Namun demikian, eksistensialisme bukan merupakan suatu kesatuan, melainkan merupakan suatu gaya filsafat. Pokok utamanya adalah manusia dan cara beradanya yang khas di tengah-tengah makhluk lainnya.  Kekhasan manusia ini mereka tekankan berhadapan dengan Materialisme dan Spiritualisme. Sebab, pangkal dan jiwa eksistensialisme adalah pandangan atas manusia sebagai eksistensi. Hal ini, menurut kaum eksistensialis menjadi pengalaman asasi karena menunjukkan kedudukan khas manusia di tengah-tengah makhluk yang lain. Maka, salah satu cara untuk mendekati eksistensi sebagai pengalaman asasi adalah dengan mengintensifkan kehadiranku pada diriku yang berbadan. Karena, badanku menjadi badan kerena kesatuannya dengan aku. Jika badanku sakit akulah yang sakit. Jika kakiku mendaki gunung, akulah yang mendaki gunung, jika mataku yang terbuka, akulah yang memandang. Jika badanku disentuh, akulah yang disentuh. Akan tapi, jika bajuku sobek, bukan aku yang sobek. Tidak ada manusia tanpa dunia karena semua yang dikatakan tentang dunia mengandaikan kehadiran manusia. suatu  dunia tanpa kehadiran manusia, tak dapat dipikirkan sebab dunia mengandaikan manusia yang berfikir. Suatu dunia tanpa manusia tak dapat dibicarakan sebab dunia telah mengandaikan manusia berbicara. Maka, dunia ini tanpa manusia tidaklah diketahui sebab saat diketahui manusia yang tahu itu telah ikut hadir.

Dalam konteks ini, dunia yang dihayati, ditanyakan, dibicarakan, diselidiki dan dibahas berbagai macam ilmu selalu mengandaikan kehadiran manusia yang menghayatinya, yang bertanya, yang membicarakan, dan yang membahasnya.  Lalu, jenis studi yang bagimanakah yang dapat menulong untuk menjawab pertanyaan ini? Apakah buku-buku kimia, matematika,  ataukah ilmu ukur? Menurut Snijders, kita harus kembali kepada pengalaman asasi yang menjadi dasar segala ilmu.  Sebab, setiap penghayatan dan setiap ilmu mempunyai objektifitasnya yang korelatif dengan sikap tertentu dari manusia. apa lagi relatif itu tidak bertentangan dengan objektif, tetapi perlu disadari keterbatasan masing-masing ilmu. Jika tidak, bagi Snijders, akan muncul segala macam ekstrimisme.
Tapi sayang, ada orang yang berpendapat bahwa obejektivitas semakin tercapai bila kehadiran manusia sebagai subjek semakin “dieliminasikan”. Lalu, bagaimana sikap eksistensialisme dalam problematika ini? Eksistensialisme tidak hanya mengatakan bahwa tidak ada “aku” yang tersendiri dan terpisah dari dunia, tetapi juga “tidak ada dunia terlepas dari manusia”. mereka juga keberatan terhadap suatu pernyataan yang mengatakan, “Dunia ada sekiranya manusia tidak ada”. Menurut eksistensialisme, kalimat seperti ini tidak masuk akal kerena dengan ini diakui bahwa manusialah yang mengucapkan kalimat itu. Begitu juga dengan ungkapkan Snijders dalam buku setebal 208 halaman ini. Menurut Snijders, pernyataan bahwa dunia ada sebelum manusia adalah suatu pernyataan yang tepat dan benar. Sebab, baginya, dalam pernyataan ini diakui kesendirian dunia terhadap subjek yang mengungkapkan kenyataan tersebut.

SUMBER
http://mathnewblog.blogspot.co.id/2015/12/manusia-paradoks.html Diakses pada tanggal 26 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar