Sabtu, 24 Desember 2016

Mengenal Sang Filsuf Plato

Tokoh filsafat yunani kuno, plato, merupakan cikal bakal lahirnya para filosuf politik barat sekaligus dedengkot pemikiran etika dan metafisika yunani kuno. Pendapat-pendapatnya dalam bidang filsafat sudah terbaca secara luas selama lebih dari 2.300 tahun.

Plato lahir sekitar tahun 428 SM. Ia berasal dari keluarga terkemuka yang turun temurun memang jabatan politik penting di Athena. Ayahnya bernama Ariston dan ibunya bernama periktione. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan pyrilampes yang tak lain adalah adik ayahnya. Pyrilampes adalah seorang politikus, sementara plato banyak bergaul dengan para politikus Athena. Sehingga, tak heran jika pemikiran plato banyak terpengaruh oleh pyrilampes. Selain itu, pemikiran plato juga banyak dipengaruhi oleh kratylos, seorang fisuf yang meneruskan ajaran Heraclitus, yang berpendapat bahwa dunia ini senantiasa berubah-ubah.

Dari pergaulannya dengan para politikus, plato akhirnya menelurkan sebuah pemikiran bahwa pemimpin sebuah Negara haruslah seorang filsuf. Hal ini ia lontarkan karena kekecewaannya atas kepemimpinan para politikus yang ada saat itu, terutama terkait dengan kasus kematian gurunya, Socrates, melalui keputusan persidangan. Tatkala Socrates berumur tujuh puluh tahun, ia diseret kepengadilan dengan tuduhan tak berdasar, yakni membuat onar dan merusak akhlak generasi muda Athena. Ia kemudian di kutuk dan dijatuhi hukuman mati atas tuduhan itu. Pelaksana hukuman mati terhadap Socrates tersebut membuat plato benci dengan pemerintahan demokratis.

Sepeninggal Socrates, plato pergi dari Athena dan  mengembara selama bertahun-tahun. Sekitar tahun 427 SM, ia kembali lagi ke Athena dan mendirikan sebuah akademi sebagai pusat penyelidikan ilmiah. Melalui akademi tersebut, ia berusaha merealisasikan cita-citanya, yaitu mencetak filsuf-filsuf yang siap menjadi pemimpin Negara. Dan, inilah yang menjadi awal mula munculnya universitas-universitas yang ada saat ini. Plato terus  mengepalai dan mengajar di akademi yang ia dirikan tersebut hingga akhir hayatnya, yaitu pada tahun 348 SM.

Dalam menelurkan karya-karya filsafatnya, plato menggunakan metode dialog. Ia percaya bahwa filsafat akan lebih baik dan teruji jika dilakukan melalui dialog. Karena itu, banyak karyanya yang ia sampaikan secara lisan di akademinya. Namun demikian, disatu sisi, ia masih mempercayai beberapa mitos untuk mengemukakan dugaan-dugaan tentang hal duniawi. Dan tentu saja pemikirannya banyak mempengaruhi oleh sang guru, Socrates.

Menurut plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, ia pasti sanggup menatap kedunia idea, sehingga kemudian memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya. Plato mengembangkan pendekatan yang bersifat rasional deduktif, sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafat yang digarap oleh plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia indrawi, yaitu tubuh. Ini merupakan persoalan ada (being) dan mengada (menjadi, becoming).

Plato menulis tidak kurang dari tiga puluh enam buku yang kebanyakan menyangkut masalah politik, etika, metafisika, dan teologi. Karya plato yang paling terkenal tertulis dalam buku yang berjudul republic. Buku tersebut berisi gagasan plato tentang pemerintahan yang paling ideal. Menurut plato, pemerintahan yang baik seharusnya dipegang oleh aristocrat, yaituseorang pemimpin terbaik, terbijak, dan orang pilihan dari suatu Negara. Selain itu, pemilihan pemimpin sebaiknya tidak melalui pemungutan suara, tetapi melalui proses keputusan bersama yang ditetapkan oleh guardian, yakni kumpulan para penguasa dan pemimpin masyarakat. Plato juga mengajarkan bahwa semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, seharusnya memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin. Dengan demikian, plato adalah filsuf pertama yang mengusulkan persamaan kesempatan tanpa memandang jenis kelamin.

Demikianlah beberapa pemikiran plato yang cukup fenomenal pada zamannya dan masih terkenal hingga sekarang. Dengan pemikiran-pemikirannya itulah, plato digambarkan sebagai orng paling bijakyang pernah dilahirkan sejak era Pythagoras dan sebelumnya aristoteles dilahirkan. Setidaknya, itulah yang diyakini oleh orang-orang yang mengenal benar pikiran plato.

Karya - karya Plato

1.                  Otentisitas
Tentang karya-karya yang otentisitasnya masih merupakan objek diskusi, Taylor cenderung berfikir bahwa beberapa diantaranya dan barangkali semua betul-betul buah pena Plato. Tentang Hippias dan Menexinos misalnya kita mempunyai data-data yang menyatakan
Diskusi mengenai otentisitas ketiga belas surat yang dikenakan kepada Plato, tidak boleh diremehkan karena surat-surat itu merupakan dokumen-dokumen utama yang kita miliki mengenai riwayat hidup Plato. Dan justru surat-surat ini memuat informasi terbanyak mengenai Plato.
 
2.                  Kronologi

Bagaimana urutan kronologis karya-karya Plato? Mulai dari Friedrich S (1768-1834), banyak sarjana telah mengupayakan suatu pemecahan mengenai masalah kronologi ini. Berbagai metodetelah dicoba yang memberikan hasil-hasil yang berlainan. Pada pertengahan abad ke-19, sarjana Inggris L. Campbell mengusulkan suatu metode yang membawa hasil, metode ini disempurnakan lagi oleh beberapa sarjana Jerman dengan menyelidiki secara terperinci gaya bahasa Plato.

Beberapa data mengizinkan kita menarik kesimpulan tentang salah satu dialog, misalnya kita tahu bahwa Theaitetos harus ditempatkan tidak lama sesudah tahun 369. Dengan mempergunakan semua data itu, kita dapat membagikan dialog-dialog Plato atas tiga periode, yaitu: 

·         Apologia, Kriton, Eutyphron, Lakhes, Kharmides, Lysis, Hippias, Minor, Menon, Gorgias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos, Phaidon, Symposion. (Beberapa ahli menyangka bahwa salah satu dari dialog ini sudah ditulis sebelum kematian Socrates, tetapi kebanyakan berfikir  bahwa dialog pertama tidak lama ditulis sesudah kematian Socrates).
·         Politea, Phaidros, Parmenides, Theaitetos. (ditulis tidak lama sebelum perjalanan kedua ke Sisilia pada tahun 367).
·         Sophistes, Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, Nomoi. (dialog-dialog ini ditulis sesudah perjalanan ketiga ke Sisilia, ketika urusannya dengan kesulitan-kesulitan politik di Sisilia sudah selesai).

Dalam tahun-tahun terakhir ini karangan Plato juga diselidiki dengan menggunakan komputer. Terutama Prof. L. Brandwood dari University of Manchester (Inggris) sangat giat dalam bidang ini. Hasil definitif belum diketahui. Tetapi sudah nyata bahwa diskusi mengenai otentisistas Surat VII dihidupkan kembali berdasarkan penyelidikan baru ini.
 
Banyak sekali karyanya yang masih utuh lengkap. Pada umumnya tulisannya disusun dalam bentuk dialog. Barangkali karena pengaruh Socrates, yang kelihatannya memegang peranan penting dalam karya-karyanya. Begitu penting tempat yang diberikan kepada Socrates (sering dijadikan tokoh utama), sehingga karya-karya Plato itu dapat dipandang sebagai monumen bagi Socrates.

Dari segala karyanya dapat diketahui bahwa Plato kenal para filsuf yang mendahuluinya. Seperti Herakleitos, Pythagoras, para filsuf Elea, terlebih para kaum sofis.

Perbedaan antara Socrates dan Plato adalah bahwa Socrates mengusahakan adanya definisi tentang hal yang bersifat umum guna menentukan hakikat atau esensi segala sesuatu, karena ia tidak puas dengan mengetahui hanya tindakan-tindakan satu persatu saja. Sedang Plato meneruskan usaha itu secara lebih maju lagi dengan  mengemukakan bahwa hakekat atau esensi segala sesuatu bukan hanya sebutan saja, tetapi memiliki kenyataan, yang lepas dari pada sesuatu yang berada secara konkrit, yang disebut idea. Idea-idea itu nyata adanya, di dalam dunia idea.


SUMBER



Hadiwijono Harun. sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius
Murtiningsih Wahyu,. 2012. para filsuf dari plot sampai ibnu bajjah. Jogjakarta: IRCiSoD
Rapar J. H. Filsafat Politik Plato

Filsafat Tentang Kesepian

Ada lebih dari 6 milyar manusia di atas muka bumi sekarang ini. Akan tetapi, banyak orang masih hidup dalam kesepian yang menggerogoti jiwa. Inilah salah satu keanehan terbesar masyarakat manusia di awal abad 21 ini. Seperti lantunan lagu yang dinyanyikan Once dari Band Dewa, “di dalam keramaian, aku masih merasa sepi..”
 
Beragam penelitian dari berbagai bidang ilmu sampai pada satu kesimpulan, bahwa kesepian itu berbahaya. Ia mendorong orang untuk berpikir salah. Akibatnya, ia merasa kesal, dan bahkan mengalami depresi. Dari keadaan yang jelek ini, banyak orang lalu memutuskan untuk melakukan bunuh diri. (Solomon, 2002) Apakah kesepian selalu menggiring manusia ke arah kegelapan semacam ini?
Akar-akar Kesepian
Saya melihat, ada dua akar mendasar dari kesepian. Pertama adalah akar sistemik. Kita hidup di dalam masyarakat pembunuh. Ada dua ciri mendasar dari masyarakat pembunuh, yakni ketakutan pada segala bentuk perbedaan (cara berpikir yang berbeda, cara hidup yang berbeda, bahkan warna kulit yang berbeda) dan kecenderungan untuk melihat sistem, aturan serta kebijakan lebih penting dari hidup manusia.
Sayangnya, hampir semua orang hidup di masyarakat semacam ini. Sulit menjadi orang Katolik (apalagi berjenis kelamin perempuan) di Saudi Arabia, karena masyarakatnya begitu tertutup dan primitif. Sulit menjadi pemikir yang kreatif dan bebas di tengah sistem pendidikan yang begitu kuno dan mencekik, seperti di Jerman dan Indonesia. Inilah contoh-contoh masyarakat pembunuh yang tidak hanya mendorong rasa kesepian yang ekstrem, tetapi juga menimbulkan beragam penderitaan lainnya bagi hidup manusia.
 
Di dalam masyarakat pembunuh, penderitaan satu orang tidaklah ada artinya, apalagi jika orang itu “berbeda”. Aturan dan prosedur lebih utama dari penderitaan manusia pribadi. Angka dan prosentase lebih penting dan bermakna, daripada kesedihan manusia pribadi. Ini seperti kritik Yesus terhadap masyarakat Yahudi lebih dari 2000 tahun silam, bahwa manusia akhirnya dikorbankan demi hukum. Manusia mati dan menderita, karena hukum, aturan, sistem dan administrasi tidak peduli padanya.
 
Akar kedua adalah akar pribadi. Biasanya, orang mengalami kesepian, setelah ia mengalami peristiwa yang berat dalam hidupnya. Misalnya, ia kehilangan keluarganya, atau gagal dalam hubungan yang bermakna baginya. Hal lain juga berpengaruh, misalnya kecenderungan diri yang amat rapuh (sensitif) terhadap berbagai peristiwa hidup. Faktor biologis tentu juga berperan.
 
Namun, saya berdiri di posisi, bahwa akar pribadi tidak akan menjadi masalah, jika sistem masyarakat pembunuh sudah berhasil diubah. Artinya, akar sistemik punya peran yang jauh lebih besar untuk mendorong orang masuk ke dalam kesepian. Kesepian bukanlah masalah baru di dalam hidup manusia. Pelbagai karya sastra klasik di berbagai peradaban sudah menggambarkan situasi kesepian yang begitu mencekik jiwa manusia. (Solomon, 2002)
Memahami Ulang
Saya ingin kembali ke pertanyaan awal, apakah kesepian selalu menggiring pada penderitaan dan kematian? Jawaban saya “tidak”. Ada lima argumen yang ingin saya ajukan. Dasar dari kelima argumen ini adalah, bahwa kesepian bisa menjadi satu bentuk jalan hidup manusia yang juga membawa makna serta kebahagiaan. Bagaimana ini dijelaskan?
 
Pertama, kesepian bisa dijadikan sebagai waktu yang tepat untuk berpikir ulang tentang hidup kita. Kesepian adalah waktu untuk melakukan refleksi. Kita diajak untuk melihat apa yang sudah kita lakukan, sehingga kita sampai pada titik kesepian ini. Kita juga diajak untuk berpikir lebih mendalam, apa yang akan kita lakukan dengan berpijak pada kesepian yang kita rasakan sekarang ini. Kesepian membuat hidup kita menjadi lebih mendalam.
 
Dua, waktu kesepian juga bisa digunakan untuk melakukan tinjauan ulang, apa yang sungguh penting di dalam hidup kita. Kita diajak untuk memikirkan ulang, apa yang sungguh bermakna di dalam hidup kita, sehingga itu layak untuk dikejar, walaupun sulit. Kita juga diajak untuk melepaskan apa yang palsu dan “membunuh” kita perlahan-lahan. Kesepian membuat kita sadar dan fokus pada apa yang sungguh penting dalam hidup kita, dan membuang jauh-jauh hal-hal yang jelek dan merusak hidup kita.
 
Tiga, kesepian juga mengajak kita berpikir ulang tentang orang-orang yang ada di sekitar kita. Kita diajak untuk sungguh membedakan antara sahabat dan teman/parasit. Sahabat akan hadir dan menemani kita di waktu kesepian. Sementara, teman/parasit hanya akan tertawa saja. Kita lalu bisa sungguh fokus pada sahabat kita yang, walaupun sedikit, akan selalu bisa menjadi pilar penyangga dalam hidup kita. Ingatlah, bahwa kualitas hidup kita juga ditentukan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita, yakni sahabat-sahabat kita. Jangan pernah takut untuk kehilangan teman, karena itu adalah bagian dari proses penyaringan untuk sungguh tahu, siapa sahabat sejati kita, baik sekarang ataupun nanti.
 
Empat, kesepian juga adalah kesempatan kita untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Di dalam kesepian, kita masuk dalam suatu keadaan gelap. Kita dipaksa untuk melepas semua pandangan dan keyakinan kita yang ada. Lalu, kita pun punya kesempatan untuk melihat dunia dengan cara yang sama sekali baru, dan mungkin lebih baik dari sebelumnya. Kesepian adalah saat untuk menjadi kreatif.
 
Lima, dengan sudut pandang yang berbeda, kita lalu berpikir dengan cara yang berbeda. Kita pun lalu bisa bekerja dan berkarya dari sudut pandang yang berbeda. Inilah hakekat dari penemuan baru yang bisa membawa manusia ke arah kehidupan yang lebih baik. Kesepian bisa dibaca sebagai saat untuk menjadi penemu dan penerobos kebuntuan di dalam berbagai bidang kehidupan manusia.
Jalan Hidup
Kesepian lalu tidak lagi dilihat sebagai melulu penyakit. Memang, ada kesedihan dan penderitaan di dalam kesepian. Jika tidak ditata dan dimaknai dengan tepat, kesepian juga bisa menghancurkan manusia. Namun, kesepian juga dapat dilihat sebagai kesempatan untuk bangkit dan melakukan perubahan penting dalam hidup kita. Ia tidak perlu dilihat sebagai kegelapan, melainkan sebagai jalan hidup yang bisa ditempuh, guna menemukan makna dan kebahagiaan dalam hidup.
 
Banyak orang takut kesepian, karena itu merupakan tanda, bahwa mereka itu sendiri. Jadi, orang takut dengan kesendirian. Argumen ini melupakan fakta, bahwa banyak orang yang berkeluarga pun merasa kesepian. Kesepian dan kesendirian memang berhubungan, tetapi tak sama persis.
 
Lagi pula, kita lahir ke dunia ini sendiri. Kita tidak membawa siapa-siapa. Kita juga hidup sebenarnya sendiri, terutama mereka yang tak punya keluarga sejak awal. Kita pun berjuang sendiri, walau tampak berbondong-bondong orang di samping dan di belakang kita. Dan ingat, kita akan mati sendirian, dan mungkin kesepian. Jadi, mengapa takut dengan kesendirian dan kesepian, jika itu akan selalu ada dalam hidup kita?

Landasan Berfilsafat

    Filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran atau rasio. Hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat adalah 1) Keheranan; 2) Kesangsian; 3) Kesadaran akan keterbatasan karena merasa dirinya sangat kecil, sering menderita, dan sering mengalami kegagalan. Hal ini mendorong pemikiran bahwa di luar manusia yang terbatas, pasti ada sesuatu yang tidak terbatas.
 
Dalam kehidupan, adakalanya kita dapat menggolongkan manusia kedalam beberapa jenis berdasarkan pengetahuannya, yaitu:
  • Orang yang mengetahui tentang apa yang diketahuinya;
  • Orang yang mengetahui tentang apa yang tidak diketahuinya;
  • Orang yang tidak mengetahui tentang apa yang diketahuinya;
  • Orang yang tidak mengetahui tentang apa yang tidak diketahuinya.
Orang dapat memperoleh pengetahuan yang benar apabila orang tersebut termasuk golongan 1) dan sekaligus 2) yaitu Orang yang mengetahui tentang apa yang diketahuinya sekaligus Orang yang mengetahui apa yang tidak diketahuinya. Dengan demikian maka filsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita ketahui dan apa yang belum kita ketahui. Pengetahuan diperoleh dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dari kedua-duanya.
 
Tidak semua orang mampu berfilsafat, orang yang akan mampu berfilsafat apabila memiliki sifat rendah hati, karena memahami bahwa tidak semuanya akan dapat diketahui dan merasa dirinya kecil dibandingkan dengan kebesaran alam semesta. Filsuf Faust mengatakan : ”Nah disinilah aku, si bodoh yang malang, tak lebih pandai dari sebelumnya”. Socrates menyadari kebodohannya dan berkata “yang saya ketahui adalah bahwa saya tak tahu apa-apa”. Sifat selanjutnya adalah bersedia untuk mengoreksi diri dan berani berterus terang terhadap seberapa jauh kebenaran yang sudah dijangkaunya. Ilmu merupakan pengetahuan yang kita alami sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang kepada diri sendiri mengenai:
  1. Apakah yang sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu?;
  2. Apakah ciri-ciri yang hakiki tentang ilmu dibanding dengan yang bukan ilmu?;
  3. Bagaimanakah saya tahu bahwa ilmu yang saya ketahui memang benar?;
  4. Kriteria apa untuk menentukan kebenaran?;
  5. Mengapa kita harus mempelajari ilmu?;
  6. Apakah kegunaan ilmu itu?.
Befilsafat adalah merenung, orang berfilsafat diibaratkan seperti seseorang di malam hari yang cerah memandang ke langit melihat bintang-bintang yang bertaburan dan merenungkan hakekat dirinya dalam lingkungan alam semesta. Hamlet berkata “Ah Horaito, masih banyak lagi di langit dan di bumi, selain yang terjaring dalam filsafatmu”. Inilah karakteristik berpikir filsafat yang pertama yaitu “menyeluruh”.
 
Seorang yang picik akan merasa sudah memiliki ilmu yang sangat tinggi dan memandang oang lain lebih rendah, atau meremehkan pengetahuan orang lain, bahkan meremehkan moral, agama, dan estetika. Orang yang berfilsafat seolah-olah memandang langit sembari merenungkan bahwa betapa kecil dirinya dibandingkan seisi alam semesta, bahwa betapa diatas langit masih ada langit, dan akhirnya dia menyadari kekerdilan dan kebodohannya. Seperti Socrates yang berkata ”Ternyata saya tak tahu apa-apa”. Selanjutnya Socrates berpikir filsafati yakni dia tidak percaya bahwa ilmu yang sudah dimilikinya itu benar dan bertanya-tanya mengenai apakah kriteria untuk menyatakan kebenaran?, apakah kriteria yang digunakan tersebut sudah benar?, dan apakah hakekat kebenaran itu sendiri?. Socrates berpikir tentang ilmu secara mendalam dan ini merupakan karakteristik berpikir filsafat yang kedua yaitu “mendasar”.
 
Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar-putar dan melingkar yang seharusnya mempunyai titik awal dan titik akhir. Namun bagaimana menentukan titik awal?. Akhirnya untuk menentukan titik awal, kita hanya bisa berspekulasi. Inilah karakteristik berpikir filsafat yang ketiga yaitu “spekulatif”.
 
Akhirnya kita menyadari bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dari spekulasi. Dari serangkaian spekulasi kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Dengan demikian lengkaplah 3 karakter berpikir filsafat yaitu meneyeluruh, mendasar dan spekulatif.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal (2004). Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Berten, K. (2006). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.

Filsafat Konstruksi Paradigma


        Para ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya membangun paradigma atas berbagai konsep, asumsi-asumsi teoritis umum dan hukum-hukum dalam tatanan tertentu, menyederhanakan yang kompleks yang dapat diterima umum. Di bawah ini dikemukakan beberapa paradigma antara lain:

1. Paradigma Cartesian- Newtonian


      Paradigma ini dicanangkan oleh Rene Descartes (1596-1650) dan Isaak Newton (1642-1727). Penggunaan istilah paradigma dalam frase “paradigma Cartesian-Newtonian” mengacu kepada pengertian generik yang diturunkan oleh Thomas Kuhn, yang dalam masterpiece-nya The structure of Scientific Revolutinons (1970) Kuhn menggunakan istilah paradigma untuk banyak arti, seperti matriks disipliner, model, atau pola berpikir, dan pandangan-dunia kaum ilmuwan. Namun pengertian umum yang lebih banyak dipakai paradigma berarti seperangkat asumsi-asumsi teoritis umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah.  Istilah paradigma dalam frase paradigma Cartesian-Newtonian digunakan dalam makna yang lebih luas yang tidak hanya berlaku pada komunitas ilmiah melainkan bekerja pada masyarakat modern umumnya. Paradigma dalam hal berarti suatu pandangan-dunia (world vieu) atau cara pandang yang dianut secara pervasif dan terkandung di dalamnya asumsi-asumsi ontologis dan epistemologis tertentu, visi realitas, dan sistem nilai.

Selanjutnya Paradigma Cartesian-Newtonian mengandung dua komponen utama, yaitu prinsip-prinsip dasar dan kesadaran intersubjektif. Prinsip-prinsip dasar itu adalah asumsi-asumsi teoritis yang mengacu kepada sistem metafisis, ontologis, dan epistemologis tertentu. Sedang kesadaran intersubjektif adalah kesadaran kolektif terhadap prinsip-prinsip dasar itu yang dianut secara bersama sedemikian sehingga dapat melangsungkan komunikasi yang memiliki frame of reference yang sama. Misalnya, konsep ‘maju’ (progress) yang sesuai dengan paradigma Cartesian-Newtonian adalah bertambahnya kepemilikan dan pengusaan manusia terhadap alam. Pengertian konsep ‘maju’ seperti itu telah menjadi kesadaran kolektif yang memungkinkannya komunikasi berlangsung antar manusia modern sedemikian, sehingga bangsa yang mampu mengeksploitasi alam melalui industri disepakati untuk digolongkan sebagai bangsa maju atau Dunia Pertama.

2. Paradigma Holistik-Dialogis


        Paradigma holistik-dialogis adalah merupakan paradigma alternatif karena tuntutan pandangan dunia baru dalam upaya memahami fenomena-fenamena global secara lebih baik, tepat dan sesuai. Pandangan dunia baru itu merupakan paradigma alternatif terhadap paradigma Cartesian-Newtonian yang dualisme yang lebih menguasai kesadaran manusia modern dalam kurun waktu tiga ratus tahun terakhir.

Dengan munculnya gagasan orisinal dari Shadr al-Din al-Shirazi yang lebih popular dengan nama Mulla Shadra (1572-1641), filsuf Persia yang hidup sezaman dengan Descartes yaitu gerak trans-substansial (trans-substansial motion, harakat al-jawhariyyah). Gagasan ini dicetuskan setelah melalui analisis ontologis-metafisis yang mendalam terhadap eksistensial dan realitas. Ontologis Mulla Shadra memiliki banyak kesamaan dengan Filsafat proses atau filsafat organisme Alfred North Whitehead (1815-1974), dapat dianggap sebagai upaya transformasi gerak trans-substansial kedalam sistim kosmologi yang dinamis. Whitehead telah mengintroduksi data-data perkembangan sains modern sebagai bagian yang integral dalam sistem filsafatnya, khususnya pandanagan kosmologisnya, sehingga lebih memperkaya pemahaman terhadap dinamika realitas.
DAFTAR PUSTAKA
Heriyanto, Husain, Paradigma Holistik Dialog Filsafat, Sains,dan Kehidupan Menurut Shadra dan                 Whitehead, (Cet; Jakarta Selatan: Teraju, 2003)

Manusia Paradoks



Tak bisa disangkal bahwa munusia adalah makhluk yang multidimensional, paradoksal, dan dinamis. Dinamika itu berhubungan dengan segala relasinya yang eksistensial. Sehingga manusia maju dengan membangun dunianya, menuju diri sejati dengan memurnikan relasi dengan sesamanya. Juga menuju keunikan sebagai pribadi dengan mempererat hubungannya dengan Tuhan. Oleh karena itu, dinamika manusia berbeda dengan dinamika yang khas di dunia alam. Jika di dunia alam berlaku diterminisme, maka dinamika manusia ada di tangan manusia sendiri. sebab, manusia bebas dan bertanggungjawab, tapi dalam kebebasan itu hadir suatu dorongan metafisis, suatu orientasi dasariah untuk menuju diri yang sejati.

Lantas manakah kekhasan manusia di tengah-tengah makhluk lainnya? Inilah pertanyaan yang terus-menerus terulang dalam sejarah manusia, bahkan dalam kehidupan manusia secara pribadi. Pandangan atas manusia pun beranekaragam. Keanekaragaman pandangan ini tampak dalam keanekaragaman definisi. Definisi paling terkenal datang dari Ariestoteles yang menyatakan: “Manusia adalah mahluk animal rational”(hewan yang berakal budi). Hal ini menurut logika Ariestoteles bagian pertama, suatu definisi harus meneyebut jenisnya yang paling dekat (dalam hal ini animal), sedangkan bagian kedua harus menyebut hal yang spesifik (di sini berakal budi). Rumusan semacam itu banyak muncul dalam filsafat manusia. sehingga manusia menjadi pokok bahasan banyak ilmu. Tiap ilmu mempunyai kekhasannya sendiri. eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat dewasa ini disamping aliran filsafat lain, seperti filsafat analitik, bahasa, dan filsafat strukturalisme. Perbedaan antara aliran yang satu dengan yang lainnya disebabkan oleh titik pangkal yang berbeda. Materialisme, misalnya, melihat materi sebagai dasar segala apa yang ada (material reductionesm). Bagi Spiritualisme, roh adalah kenyataan satu-satunya (spiritual reductionism).

Atas dasar itu, Adelbert Snijders, dalam buku berjudul Antropologi Filsafat, Manusia Paradoks dan Seruan ini menyatakan bahwa eksistensialisme dapat disebut fenomenologi eksistensial kerena merupakan suatu gabungan antara eksistensialisme Kierkegaard (1813-1855) dan fenmenologi Edmund Husserl (1859-1938). Gaya berfilsafat seperti ini kemudian dikembangkan Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1873), M. Merleau Ponty (1908-1961), yang masing-masing dengan caranya sendiri. Dan dalam perkembangan selanjutnya dibahas oleh orang-orang seperti F. Copleston di Inggris, Jean Wahl di Paris, A. Dondeyne di Louvain, W.A. Luijpen dan R. Barker di Belanda  (halaman 24.)

Namun demikian, eksistensialisme bukan merupakan suatu kesatuan, melainkan merupakan suatu gaya filsafat. Pokok utamanya adalah manusia dan cara beradanya yang khas di tengah-tengah makhluk lainnya.  Kekhasan manusia ini mereka tekankan berhadapan dengan Materialisme dan Spiritualisme. Sebab, pangkal dan jiwa eksistensialisme adalah pandangan atas manusia sebagai eksistensi. Hal ini, menurut kaum eksistensialis menjadi pengalaman asasi karena menunjukkan kedudukan khas manusia di tengah-tengah makhluk yang lain. Maka, salah satu cara untuk mendekati eksistensi sebagai pengalaman asasi adalah dengan mengintensifkan kehadiranku pada diriku yang berbadan. Karena, badanku menjadi badan kerena kesatuannya dengan aku. Jika badanku sakit akulah yang sakit. Jika kakiku mendaki gunung, akulah yang mendaki gunung, jika mataku yang terbuka, akulah yang memandang. Jika badanku disentuh, akulah yang disentuh. Akan tapi, jika bajuku sobek, bukan aku yang sobek. Tidak ada manusia tanpa dunia karena semua yang dikatakan tentang dunia mengandaikan kehadiran manusia. suatu  dunia tanpa kehadiran manusia, tak dapat dipikirkan sebab dunia mengandaikan manusia yang berfikir. Suatu dunia tanpa manusia tak dapat dibicarakan sebab dunia telah mengandaikan manusia berbicara. Maka, dunia ini tanpa manusia tidaklah diketahui sebab saat diketahui manusia yang tahu itu telah ikut hadir.

Dalam konteks ini, dunia yang dihayati, ditanyakan, dibicarakan, diselidiki dan dibahas berbagai macam ilmu selalu mengandaikan kehadiran manusia yang menghayatinya, yang bertanya, yang membicarakan, dan yang membahasnya.  Lalu, jenis studi yang bagimanakah yang dapat menulong untuk menjawab pertanyaan ini? Apakah buku-buku kimia, matematika,  ataukah ilmu ukur? Menurut Snijders, kita harus kembali kepada pengalaman asasi yang menjadi dasar segala ilmu.  Sebab, setiap penghayatan dan setiap ilmu mempunyai objektifitasnya yang korelatif dengan sikap tertentu dari manusia. apa lagi relatif itu tidak bertentangan dengan objektif, tetapi perlu disadari keterbatasan masing-masing ilmu. Jika tidak, bagi Snijders, akan muncul segala macam ekstrimisme.
Tapi sayang, ada orang yang berpendapat bahwa obejektivitas semakin tercapai bila kehadiran manusia sebagai subjek semakin “dieliminasikan”. Lalu, bagaimana sikap eksistensialisme dalam problematika ini? Eksistensialisme tidak hanya mengatakan bahwa tidak ada “aku” yang tersendiri dan terpisah dari dunia, tetapi juga “tidak ada dunia terlepas dari manusia”. mereka juga keberatan terhadap suatu pernyataan yang mengatakan, “Dunia ada sekiranya manusia tidak ada”. Menurut eksistensialisme, kalimat seperti ini tidak masuk akal kerena dengan ini diakui bahwa manusialah yang mengucapkan kalimat itu. Begitu juga dengan ungkapkan Snijders dalam buku setebal 208 halaman ini. Menurut Snijders, pernyataan bahwa dunia ada sebelum manusia adalah suatu pernyataan yang tepat dan benar. Sebab, baginya, dalam pernyataan ini diakui kesendirian dunia terhadap subjek yang mengungkapkan kenyataan tersebut.

SUMBER
http://mathnewblog.blogspot.co.id/2015/12/manusia-paradoks.html Diakses pada tanggal 26 Desember 2016