Dalam kehidupan, adakalanya kita dapat menggolongkan manusia kedalam beberapa jenis berdasarkan pengetahuannya, yaitu:
- Orang yang mengetahui tentang apa yang diketahuinya;
- Orang yang mengetahui tentang apa yang tidak diketahuinya;
- Orang yang tidak mengetahui tentang apa yang diketahuinya;
- Orang yang tidak mengetahui tentang apa yang tidak diketahuinya.
Orang dapat memperoleh pengetahuan yang benar apabila orang tersebut
termasuk golongan 1) dan sekaligus 2) yaitu Orang yang mengetahui
tentang apa yang diketahuinya sekaligus Orang yang mengetahui apa yang
tidak diketahuinya. Dengan demikian maka filsafat didorong untuk
mengetahui apa yang telah kita ketahui dan apa yang belum kita ketahui.
Pengetahuan diperoleh dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan
rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dari kedua-duanya.
Tidak semua orang mampu berfilsafat, orang yang akan mampu
berfilsafat apabila memiliki sifat rendah hati, karena memahami bahwa
tidak semuanya akan dapat diketahui dan merasa dirinya kecil
dibandingkan dengan kebesaran alam semesta. Filsuf Faust mengatakan :
”Nah disinilah aku, si bodoh yang malang, tak lebih pandai dari
sebelumnya”. Socrates menyadari kebodohannya dan berkata “yang saya
ketahui adalah bahwa saya tak tahu apa-apa”. Sifat selanjutnya adalah
bersedia untuk mengoreksi diri dan berani berterus terang terhadap
seberapa jauh kebenaran yang sudah dijangkaunya. Ilmu merupakan
pengetahuan yang kita alami sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan
lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita
berterus terang kepada diri sendiri mengenai:
- Apakah yang sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu?;
- Apakah ciri-ciri yang hakiki tentang ilmu dibanding dengan yang bukan ilmu?;
- Bagaimanakah saya tahu bahwa ilmu yang saya ketahui memang benar?;
- Kriteria apa untuk menentukan kebenaran?;
- Mengapa kita harus mempelajari ilmu?;
- Apakah kegunaan ilmu itu?.
Befilsafat adalah merenung, orang berfilsafat diibaratkan seperti
seseorang di malam hari yang cerah memandang ke langit melihat
bintang-bintang yang bertaburan dan merenungkan hakekat dirinya dalam
lingkungan alam semesta. Hamlet berkata “Ah Horaito, masih banyak lagi di langit dan di bumi, selain yang terjaring dalam filsafatmu”. Inilah karakteristik berpikir filsafat yang pertama yaitu “menyeluruh”.
Seorang yang picik akan merasa sudah memiliki ilmu yang sangat tinggi
dan memandang oang lain lebih rendah, atau meremehkan pengetahuan orang
lain, bahkan meremehkan moral, agama, dan estetika. Orang yang
berfilsafat seolah-olah memandang langit sembari merenungkan bahwa
betapa kecil dirinya dibandingkan seisi alam semesta, bahwa betapa
diatas langit masih ada langit, dan akhirnya dia menyadari kekerdilan
dan kebodohannya. Seperti Socrates yang berkata ”Ternyata saya tak tahu
apa-apa”. Selanjutnya Socrates berpikir filsafati yakni dia tidak
percaya bahwa ilmu yang sudah dimilikinya itu benar dan bertanya-tanya
mengenai apakah kriteria untuk menyatakan kebenaran?, apakah kriteria
yang digunakan tersebut sudah benar?, dan apakah hakekat kebenaran itu
sendiri?. Socrates berpikir tentang ilmu secara mendalam dan ini
merupakan karakteristik berpikir filsafat yang kedua yaitu “mendasar”.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar-putar dan melingkar yang
seharusnya mempunyai titik awal dan titik akhir. Namun bagaimana
menentukan titik awal?. Akhirnya untuk menentukan titik awal, kita hanya
bisa berspekulasi. Inilah karakteristik berpikir filsafat yang ketiga
yaitu “spekulatif”.
Akhirnya kita menyadari bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada
dimulai dari spekulasi. Dari serangkaian spekulasi kita dapat memilih
buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari
penjelajahan pengetahuan. Dengan demikian lengkaplah 3 karakter berpikir
filsafat yaitu meneyeluruh, mendasar dan spekulatif.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal (2004). Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Berten, K. (2006). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar