Tak bisa disangkal bahwa munusia adalah makhluk yang
multidimensional, paradoksal, dan dinamis. Dinamika itu berhubungan dengan
segala relasinya yang eksistensial. Sehingga manusia maju dengan membangun
dunianya, menuju diri sejati dengan memurnikan relasi dengan sesamanya. Juga
menuju keunikan sebagai pribadi dengan mempererat hubungannya dengan Tuhan.
Oleh karena itu, dinamika manusia berbeda dengan dinamika yang khas di dunia
alam. Jika di dunia alam berlaku diterminisme, maka dinamika manusia ada di tangan
manusia sendiri. sebab, manusia bebas dan bertanggungjawab, tapi dalam
kebebasan itu hadir suatu dorongan metafisis, suatu orientasi dasariah untuk
menuju diri yang sejati.
Lantas manakah kekhasan manusia di tengah-tengah makhluk
lainnya? Inilah pertanyaan yang terus-menerus terulang dalam sejarah manusia,
bahkan dalam kehidupan manusia secara pribadi. Pandangan atas manusia pun
beranekaragam. Keanekaragaman pandangan ini tampak dalam keanekaragaman
definisi. Definisi paling terkenal datang dari Ariestoteles yang menyatakan:
“Manusia adalah mahluk animal rational”(hewan yang berakal budi). Hal ini
menurut logika Ariestoteles bagian pertama, suatu definisi harus meneyebut
jenisnya yang paling dekat (dalam hal ini animal), sedangkan bagian kedua harus
menyebut hal yang spesifik (di sini berakal budi). Rumusan semacam itu banyak
muncul dalam filsafat manusia. sehingga manusia menjadi pokok bahasan banyak
ilmu. Tiap ilmu mempunyai kekhasannya sendiri. eksistensialisme adalah salah
satu aliran filsafat dewasa ini disamping aliran filsafat lain, seperti
filsafat analitik, bahasa, dan filsafat strukturalisme. Perbedaan antara aliran
yang satu dengan yang lainnya disebabkan oleh titik pangkal yang berbeda.
Materialisme, misalnya, melihat materi sebagai dasar segala apa yang ada
(material reductionesm). Bagi Spiritualisme, roh adalah kenyataan satu-satunya
(spiritual reductionism).
Atas dasar itu, Adelbert Snijders, dalam buku berjudul
Antropologi Filsafat, Manusia Paradoks dan Seruan ini menyatakan bahwa
eksistensialisme dapat disebut fenomenologi eksistensial kerena merupakan suatu
gabungan antara eksistensialisme Kierkegaard (1813-1855) dan fenmenologi Edmund
Husserl (1859-1938). Gaya berfilsafat seperti ini kemudian dikembangkan Martin
Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1873), M. Merleau Ponty
(1908-1961), yang masing-masing dengan caranya sendiri. Dan dalam perkembangan
selanjutnya dibahas oleh orang-orang seperti F. Copleston di Inggris, Jean Wahl
di Paris, A. Dondeyne di Louvain, W.A. Luijpen dan R. Barker di Belanda
(halaman 24.)
Namun demikian, eksistensialisme bukan merupakan suatu
kesatuan, melainkan merupakan suatu gaya filsafat. Pokok utamanya adalah
manusia dan cara beradanya yang khas di tengah-tengah makhluk lainnya.
Kekhasan manusia ini mereka tekankan berhadapan dengan Materialisme dan
Spiritualisme. Sebab, pangkal dan jiwa eksistensialisme adalah pandangan atas
manusia sebagai eksistensi. Hal ini, menurut kaum eksistensialis menjadi
pengalaman asasi karena menunjukkan kedudukan khas manusia di tengah-tengah
makhluk yang lain. Maka, salah satu cara untuk mendekati eksistensi sebagai
pengalaman asasi adalah dengan mengintensifkan kehadiranku pada diriku yang
berbadan. Karena, badanku menjadi badan kerena kesatuannya dengan aku. Jika
badanku sakit akulah yang sakit. Jika kakiku mendaki gunung, akulah yang
mendaki gunung, jika mataku yang terbuka, akulah yang memandang. Jika badanku
disentuh, akulah yang disentuh. Akan tapi, jika bajuku sobek, bukan aku yang
sobek. Tidak ada manusia tanpa dunia karena semua yang dikatakan tentang dunia
mengandaikan kehadiran manusia. suatu dunia tanpa kehadiran manusia, tak
dapat dipikirkan sebab dunia mengandaikan manusia yang berfikir. Suatu dunia
tanpa manusia tak dapat dibicarakan sebab dunia telah mengandaikan manusia
berbicara. Maka, dunia ini tanpa manusia tidaklah diketahui sebab saat
diketahui manusia yang tahu itu telah ikut hadir.
Dalam konteks ini, dunia yang dihayati, ditanyakan,
dibicarakan, diselidiki dan dibahas berbagai macam ilmu selalu mengandaikan
kehadiran manusia yang menghayatinya, yang bertanya, yang membicarakan, dan
yang membahasnya. Lalu, jenis studi yang bagimanakah yang dapat menulong
untuk menjawab pertanyaan ini? Apakah buku-buku kimia, matematika,
ataukah ilmu ukur? Menurut Snijders, kita harus kembali kepada pengalaman asasi
yang menjadi dasar segala ilmu. Sebab, setiap penghayatan dan setiap ilmu
mempunyai objektifitasnya yang korelatif dengan sikap tertentu dari manusia.
apa lagi relatif itu tidak bertentangan dengan objektif, tetapi perlu disadari
keterbatasan masing-masing ilmu. Jika tidak, bagi Snijders, akan muncul segala
macam ekstrimisme.
Tapi sayang, ada orang yang berpendapat bahwa obejektivitas
semakin tercapai bila kehadiran manusia sebagai subjek semakin “dieliminasikan”.
Lalu, bagaimana sikap eksistensialisme dalam problematika ini? Eksistensialisme
tidak hanya mengatakan bahwa tidak ada “aku” yang tersendiri dan terpisah dari
dunia, tetapi juga “tidak ada dunia terlepas dari manusia”. mereka juga
keberatan terhadap suatu pernyataan yang mengatakan, “Dunia ada sekiranya
manusia tidak ada”. Menurut eksistensialisme, kalimat seperti ini tidak masuk
akal kerena dengan ini diakui bahwa manusialah yang mengucapkan kalimat itu.
Begitu juga dengan ungkapkan Snijders dalam buku setebal 208 halaman ini.
Menurut Snijders, pernyataan bahwa dunia ada sebelum manusia adalah suatu
pernyataan yang tepat dan benar. Sebab, baginya, dalam pernyataan ini diakui
kesendirian dunia terhadap subjek yang mengungkapkan kenyataan tersebut.
SUMBER
http://mathnewblog.blogspot.co.id/2015/12/manusia-paradoks.html Diakses pada tanggal 26 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar