Syekh Maulana Mansyurlah yang meninggalkan
warisan berupa Batu Quran tersebut. Tapi tahukah kalau yang ada di Cibulakan
itu adalah replika dari Batu Quran yang ada di Sanghyang Sirah, Taman Nasional
Ujung Kulon. Mungkin banyak orang yang belum mengetahui tentang sejarah Batu
Quran yang sebenarnya. Sejarah Batu Quran di Sanghyang Sirah berkaitan erat
dengan sejarah Sayidina Ali, Prabu Kian Santang dan Prabu Munding Wangi. Apa
alasan Syekh Maulana Mansyur membuat replika Batu Quran tersebut ?
Mungkin orang sudah banyak mengetahui sejarah
masuk Islamnya Prabu Kian Santang yang diislam oleh Sayidina Ali ketika Prabu
Kian Santang melakukan perjalanan ke jazirah Arab. Setelah masuk Islam, Prabu
Kian Santang kembali ke tanah Jawa di daerah Godog Suci, Garut dimana Prabu
Kian Santang mengajarkan Islam kepada pengikutnya.
Sebagai orang Islam sudah tentu harus dikhitan.
Karena keterbatasan pengetahuan Prabu Kian Santang maka terjadi banyak
kesalahan dalam melakukan prosedur khitan. Bukan yang ujung kulit penis yang
dipotong tapi dipotong sampai ke ujung-ujungnya. Bisa bayangkan pasti banyak
yang meninggal dengan kesalahan tersebut. Akhirnya Prabu Kian Santang mengutus
orang untuk menemui Sayidina Ali di jazirah Arab dengan tujuan untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan yang baik dan benar tentang Khitan secara Islami.
Kemudian Sayidina Ali dan orang suruhan Prabu
Kian Santang pergi ke Godog Suci untuk memberikan pelajaran cara khitan dan
beberapa pengetahuan tentang Islam. Disamping itu Sayidinna Ali ingin
menyerahkan Kitab Suci Al Qur’an. Sebagai orang Muslim maka sudah pasti harus
berpatokan kepada Al Quran. Karena sejak bertemu pertama kali Sayidina Ali
belum pernah menyerahkan kitab Al Quran kepada Prabu Kian Santang.
Ternyata sesampainya di Godog Suci, Prabu Kian
Santang telah meninggalkan tempat tersebut dan pergi menemui Prabu Munding
Wangi yang telah tilem di Sanghyang Sirah, Ujung Kulon untuk memberitahukan
kepada ayahandanya kalau beliau telah menetapkan hati sebagai seorang muslim.
Mendengar berita tersebut Sayidina Ali mengejar ke Sanghyang Sirah sebagai
bentuk amanah dan perhatian agar Prabu Kian Santang mempunyai pegangan yang
kuat berupa Kitab Al Quran. Masa sebagai muslim tidak memiliki Kitab Al Quran.
Konon di batu karang ini Sayidina Ali melakukan
Sholat
Apa yang terjadi kemudian ? Ketika sampai di
Sanghyang Sirah, Sayidina Ali hanya bisa bertemu Prabu Munding Wangi. Prabu
Munding Wangi mengatakan kepada Sayidina Ali kalau Prabu Kian Santang telah
pergi lagi dan menghilang entah kemana setelah mendapat restu dari ayahandanya.
Prabu Kian Santang adalah satu-satunya anak Prabu Munding Wangi yang menjadi
raja tapi tidak pernah memerintah kerajaan karena hidupnya didedikasikan untuk
penyebaran agama Islam.
Akhirnya Sayidina Ali menyerahkan dan menitipkan
kitab Al Quran untuk disimpan dan berharap dapat diberikan kepada Prabu Kian
Santang apabila berkunjung ke Sanghyang Sirah. Prabu Munding Wangi menerima
kitab Al Quran dengan lapang dada dan disimpannya di dalam kotak batu bulat.
Kemudian kotak batu berisi Al Quran tersebut ditaruh di tengah batu karang yang
dikelilingi oleh air kolam yang sumber airnya berasal dari tujuh sumber mata
air
Selanjutnya Sayidina Ali mohon diri tapi
sebelumnya sholat terlebih dahulu di atas batu karang yang sekarang sering
disebut Masjid Syaidinna Ali. Dengan kuasa Allah SWT, Sayidina Ali langsung
menghilang entah kemana. Mungkin kembali ke jazirah Arab.
Peristiwa Batu Quran ini beberapa abad kemudian
diketahui oleh Syekh Maulana Mansyur beredarkan ilham yang didapatnya dari
hasil tirakat. Segeralah Syekh Maulana Mansyur berangkat ke Sanghyang Sirah.
Betapa kagumnya Syekh Maulana Mansyur melihat kebesaran Allah lewat mukjizat
Batu Quran dimana dari air kolam yang bening terlihat dengan jelas tulisan batu
karang yang menyerupai tulisan Quran. Sayangnya saat ini air kolam sudah keruh
dan sulit untuk melihat batu karang dengan tulisan Quran karena banyaknya
endapan di dasar kolam dan banyaknya penziarah yang membuang pakaian bekas
mandiannya ke Batu Quran.
Karena jauhnya jarak Sanghyang Sirah dan
membutuhkan waktu dan energi yang luar biasa maka untuk memudahkan anak cucu
ataupun umat Islam yang ingin melihat Batu Quran maka dibuatlah replika Batu
Quran dengan lengkap sumur tujuhnya di Cibulakan Kabupaten Pandeglang. Saat ini
saja untuk menuju Sanghyang Sirah lewat Taman Jaya membutuh waktu 2 hari satu
malam dengan berjalan kaki dan membutuhkan waktu 5 jam dengan menggunakan kapal
laut dari Ketapang, Sumur menuju Pantai Bidur yang dilanjutkan berjalan kaki
selama hampir 1 jam menuju Sanghyang Sirah. Bisa dibayangkan berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai kesana pada jamannya Syekh Maulana Mansyur.
Sumber
http://yusupjunaedi55.blogspot.co.id/2014/12/sejarah-batu-quran.html
Diakses pada 12 Desember 2016
Diakses pada 12 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar