“Kusabab dilarang sakola, lamun sakola bisa jadi pinter,
lamun pinter bisa minteran batur. Contona kiwari nagara urang keur acak, eta
anu nyieun acak, jalma anu palalinter”
“Mengapa adat melarang
warganya sekolah?”
Jawaban sederhana dari salah seorang
diantaranya adalah “Kusabab dilarang sakola, lamun sakola bisa jadi pinter,
lamun pinter bisa minteran batur. Contona kiwari nagara urang keur acak, eta
anu nyieun acak, jalma anu palalinter.” Artinya “Yang menyebabkan adat
melarang warganya bersekolah, jika sekolah maka ia bisa pintar, jika pintar, ia
dapat membodohi/menipu orang lain. Contohnya saat ini negara kita sedang kacau,
hal ini disebabkan oleh mereka yang pintar.” Mereka memilih bodoh, jika harus
dihadapkan pada adanya kemungkinan untuk menipu orang lain.
Terlepas dari kesalahan cara berfikir
serta apakah pada awalnya (dalam sejarahnya) pimpinan komunitas sosial yang
tinggal di pegunungan Kendeng ini menggunakan salah satu teori kekuasaan yang
dikemukakan oleh Machievelli (yang mengatakan bahwa untuk melanggengkan kekuasaannya,
maka seorang pemimpin harus melakukan proses pembodohan terhadap rakyatnya)
atau tidak, sangat tampak bahwa mereka mampu menggunakan logika kodratinya
dalam menerjemahkan sebuah fenomena aktual yang terjadi di bumi Nusantara ini.
Dalam konteks kekinian, tampaknya kita
patut bercermin kepada prinsip hidup mereka: jujur, dengan falsafah hidupnya
yang populer “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung,”
yang artinya : “panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung.” Sebab tatkala
seorang anak beranjak dewasa, ia sudah dibekali sebuah ‘wasiat’ oleh orangtua
atau tokoh adat setempat. Wasiat itu antara lain : “hirup eta kudu tutulung
kanu butuh; tatalang kanu susah; mere kanu teu boga; nganteur kanu sieun;
nyaanganan kanu poekeun” (hidup itu harus memberi pertolongan kepada orang
yang membutuhkan; meminjamkan kepada kepada yang tertimpa musibah; memberi
kepada yang tidak punya; mengantar orang yang ketakutan; dan memberi penerangan
kepada orang yang kegelapan).
Lebih jauh Sultan Banten (saat itu
dikenal dengan nama Tubagus Buang atau Ratu Wakil-420 tahun silam) pernah
mengamanatkan sesuatu kepada masyarakat Baduy (luar dan dalam) melalui seorang
Puun Lanting : “ulah gedug kalinduan, ulah rigrig kaanginan, ulah limpas
kacaahan. Lamun henteu, matak puhpul
kapangaruhan, matak teu awet juritan, matak tambur kamenakan, matak sangar
kanagara; leutik pangarahna, leutik pangaruhna kana ngabangun nagara.....”
(jangan takut pada tantangan, jangan goyah diterpa angin, jangan terbawa arus.
Jika tidak, akan hapus terpengaruh, akan tidak lama bertahan, akan sirna
kesenggangan, akan merusak tatanan negara; kecil pengaruhnya dalam proses
pembangunan bangsa).
Seorang pengikut tradisi Weberian (Peter L. Berger) dalam bukunya Pikiran
Kembara Modernisasi dan Kesadaran Manusia, bersama Brigitte Berger dan
Hansfried Kellner menyatakan bahwa akibat adanya modernisasi, manusia
(di negara dunia ketiga khususnya) hanya dapat memfungsikan sistem norma
(termasuk norma agama) sebagai simbol-simbol belaka). Nilai-nilai kemanusiaan
sudah terreduksi oleh modernisasi itu sendiri. Padahal modern justru akan
menciptakan kondisi dimana manusia menjadi terasing di lingkungannya sendiri.
Manusia hanya dapat dikontrol melalui approach security (pendekatan
keamanan). Sebab tidak ada lagi kesadaran kemanusiaannya.
Kembali pada pembahasan awal, bahwa
ungkapan yang hanya menggunakan logika kodrati, warga Baduy serta tinjauan
kritis Berger dkk di atas, menunjukkan adanya korelasi dengan kondisi obyektif
di masyarakat kita saat ini. Memang, keterpurukan yang dialami oleh bangsa ini
justru lebih disebabkan oleh orang-orang pintar dengan ambisi pribadi (minimal
kelompoknya) masing-masing. Sikap primordialis yang seharusnya diterapkan pada
tataran tertentu, justru lebih dikedepankan diatas kepentingan yang lebih besar
yakni bangsa dan negara.
Sehingga tidak heran jika banyak
terdengar upaya-upaya yang dilakukan demi kepentingan pribadi tanpa nurani
dengan mengatasnamakan rakyat. Imbasnya dari waktu ke waktu jumlah masyarakat
yang termarginalkan/tertindas/terpinggirkan/teraniaya, atau dalam terminologi
Islam disebut masyarakat mustadz’afin semakin bertambah. Sementara kita
semua sadar bahwa do’a orang-orang mustadz’afin atau tertindas akan
sangat didengar Tuhan, sebuah keniscayaan.
Setumpuk kasus penindasan yang
dilakukan oleh orang ‘pintar’ (tapi sayang tak bermoral), masih segar dalam
benak kita. Dari mulai kasus manipulasi dokumen tanah masyarakat desa, kasus
penggelapan dana KUT, sampai pada kasus berskala nasional seperti kasus Bulog
dan sebagainya. Jika hal ini terus menerus berlanjut, (sebagai bahan renungan)
tidak tertutup kemungkinan adanya sebuah gerakan yang dilakukan masyarakat
tertindas saat ini, yang saya istilahkan sebagai revolusi yang dilakukan oleh
rakyat mustadz’afin dapat terjadi. Permasalahannya hanya terletak pada
perputaran waktu saja.
Sumber
http://udaysuhada.blogspot.com/2008/11/mengapa-dilarang-sekolah-di-baduy_25.html
Diakses Pada 10 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar