Rabu, 23 November 2016

Filsafat Pendidikan Progresivisme




Tokoh yang berperan besar atas keberhasilan progresivisme adalah Jhon Dewey. Dewey merintis gerakan pendidikan progresif yang dimulai pada tahun 1920-an. Dan telah menghasilkan banyak inovasi-inovasi penting yang bertahan lama dalam pendidikan di Amerika Serikat.

Gerakan progresivisme merangsang sekolah-sekolah untuk memperluas kurikula mereka, menjadikan pendidikan lebih relevan dengan kebutuhan-kebutuhan dan minat-minat para siswa.

·         Akar-akar Progresivisme (Filsafat John Dewey)
Dewey menganggap semesta fisik (physical universe) sebagai real dan fundamental. Dewey juga berpandangan bahwa satu kebenaran yang konstan tentang alam semsta adalah eksistensi perubahan. Jadi, perubahan bukanlah suatu kekuatan yang tidak dapat dikendalikan, tetapi lebih tepatnya, perubahan dapat diarahkan oleh intelegensi manusia.

Dewey mengajarkan bahwa manusia adalah hewan-hewan sosial yang belajar dengan baik melalui interaksi (interplay) dengan manusia-manusia lain, dan bahwa belajar kita meningkat saat kita terlibatkan dalam aktifitas-aktifitas yang bermakna bagi kita.

Dewey mengemukakan gagasan bahwa pengetahuan diperoleh dan diperluas saat kita menerapkan pengalaman-pengalaman kita yang telah lalu untuk memecahkan permasalahan bermakna yang baru. Jadi, pendidikan merupakan rekonstruksi pengalaman, suatu kesempatan untuk menerapkan pengalaman-pengalaman sebelumnya dengan cara baru.
  

Dewey mengajukan lima metode untuk memecahkan malsalah, antara lain:
1.      Menyadari masalah,
2.    Mendefinisikan (merumuskan) masalah itu,
3.    Mengajukan berbagai hipotesis untuk memecahkannya,
4.    Mengkaji konsekuesi-konsekuensi dari tiap hipotesis berdasarkan pengalaman yang telah lalu, dan
5.    Menguji pemecahan yang paling mungkin.

·         Progresivisme dalam the schoolhouse (Rumah-Sekolah)
Manusia-manusia belajar sebaik-baiknya dari apa yang mereka anggap paling relevan dengan kehidupan mereka, maka para progresivis memusatkan kurikulum di sekitar pengalaman-pengalaman, minat-minat, serta kemampuan-kemampuan para siswa. Jadi para guru bertugas sebagai merencanakan pelajaran-pelajaran yang menimbilkan keingintahuan dan mendorong para siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Jadi, selain membaca buku teks, para siswa harus belajar dengan melakukan (doing). Dan para siswa pun dihadapkan pada suatu kurikulum lebih demokratis yang mengakui pencapaian kaum wanita dan kelompok-kelompok minoritas selain kaum pria kulit putih.

Para progresivis meyakini bahwa pendidikan hendaknya menjadi suatu proses pengayaan yang terus menerus pada perkembangan yang sedang berlangsung, bukan sekedar persiapan bagi kehidupan dewasa kelak.

Impian progresivis adalah penyelenggaraan ruang kelas yang suram dan tampak tidak relevan yang diingat oleh banyak orang dewasa dari masa kecil mereka suatu saat nanti hanya menjadi kenangan kejadian masa silam.

Filsafat Pendidikan Esensialisme




Esensialisme menunjuk pada pendekatan pendidikan “Tradisional” atau  “Back to the Basics”. Karena filsafatnya berupaya menanamkan pada siswa hal-hal yang bersifat esensial dari pengetahuan akademik dan perkembangan karakter.
Istilah esensialisme pada awalnya dikenalkan oleh seorang edukator amerika serikat bernama William Bagley pada tahun 1930-an. Namun demikian, filsafat itu sendiri telah menjadi pendekatan yang dominan di AS sejak permulaan sejarah AS. Pada awal abad ke-20, esensialisme dikecam karena dianggap terlalu kaku untuk mempersiapkan siswa secara memadai untuk kehidupan dewasa. Akan tetapi dengan peluncuran sputnik pada tahun 1957 minat terhadap esensialisme hidup kembali.

·         Landasan Filosofis Esensialisme
Di Amerika Serikat esensialisme didasarkan pada suatu filsafat konservatif yang menerima struktur sosial,politik, dan ekonomi dari masyarakat Amerika Serikat. Aliran ini berpandangan bahwa sekolah-sekolah tidak seharusnya mencoba secara radikal membentuk kembali masyarakat. Tetapi lebih tepatnya sekolah-sekolah di Amerika Serikat seharusnya mentransmisikan nilai-nilai moral dan pengetahuan intelektual tradisioanal yang diperlukan oleh para siswa untuk menjadi warga negara teladan. Dan para esensialis berpandangan bahwa para guru seharusnya menanamkan nilai-nilai luhur tradisional AmerikaSerikatsebagai penghargaan bagi otoritas ketekunan,kesetiaan pada tugas,pertimbangan terhadap orang lain, dan praktikularitas.

·         Ruang Kelas
Para esensialis menegaskan agar keterampilan-keterampilan akademik dan pengetahuan yang paling esensial atau mendasar diajarkan kepada semua siswa. Yaitu disiplin-disiplin ilmu tradisional seperti matematika,sains alam, sejarah, bahasa asing, dan sastra akan membentuk fondasi dari kurikulum esensial. Dan tidak menyukai mata pelajaran yang bersifat vokasionalis (terkait pada profesi).
Program-program pada kurikulum esensialis bersifat ketat secara akademik, baik bagi siswa yang cepat atau yang lambat. A Nation at Risk mengungkapkan bahwa penekanan esensialis itu ketat, karena menuntut hari sekolah yang lama, tahun akademik yang lebih panjang, dan buku-buku teks yang lebih matang.
Para esensialis memandang bahwa ruang kelas-ruang kelas yang lebih lebih diorientasikan pada guru. Secara ideal guru bertindak sebagai model peran dan moral bagi siswa. Guru-guru esensialis sangat berfokus pada nilai-nilai pencapaian sebagai alat untuk mengevaluasi kemajuan siswa.

Arah Pembelajaran Matematika



Dalam pembelajaran matematika selama ini, siswa lebih cenderung mahir menyelesaikan soal-soal matematika ketika di dalam kelas. Soal-soal matematika yang diselesaikan pun berkisar pada keterampilan berhitung saja. Jarang sekali soal yang berorientasi pada pemecahan masalah dalam kehidupan nyata. Akibatnya, siswa tidak memahami secara utuh konsep-konsep matematika, dan siswa mengalami kesulitan ketika dituntut mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari. 

   Salah satu nilai matematika yang diajarkan di sekolah yang terpenting adalah kegunaannya dalam kehidupan riil. Dengan menunjukkan keterkaitan matematika dengan kejadian-kejadian dalam dunia nyata, maka matematika akan dirasakan lebih bermanfaat. Oleh karena itu, salah satu sasaran pembelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa memiliki kemampuan matematika yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat meningkatkan motivasi siswa untuk belajar Matematika lebih giat.

        Apabila kemampuan siswa masih di seputar bagaimana melakukan perhitungan yang benar, bagaimana menyelesaikan soal-soal yang diujikan dalam ujian nasional (UN) yang tentunya didominasi dengan pertanyaan seputar perhitungan dan prosedural ansich, dan yang lebih parah kemampuan matematika siswa hanya didasarkan atas hasil akhir dalam lembar jawaban, maka harapan akan meningkatnya kualitas dan mutu kemampuan siswa di bidang matematika horisonal nampaknya masih harus berjuang keras untuk dapat terwujud. Pembelajaran matematika yang tidak membumi seperti ini tidak akan cukup untuk membawa generasi bangsa dalam menjawab tantangan dan persaingan global.

Terkait hal ini, Ipung Yuwono (2005:1) menawarkan model pembelajaran matematika secara membumi (PMB). Model ini diilhami karena selama ini, pembelajaran matematika banyak dipengaruhi oleh pandangan yang menganggap matematika sebagai alat bantu untuk pengetahuan lainnya yang mengakibatkan pola pembelajaran matematika menjadi terpusat pada guru. Guru yang baik adalah guru yang banyak menjelaskan konsep atau algoritma dengan gamblang dan memberikan cara penyelesaian soal-soal dengan cara singkat dan cepat. Proses untuk mendapatkan konsep atau rumus tidak penting, yang utama adalah siswa dapat memperoleh hasil akhir dengan tepat. Pembelajaran demikian lebih menekankan pada “mindless drill” lebih mementingkan keterampilan prosedural dan meminggirkan pemahaman konsep.

Pembelajaran matematika secara membumi (PMB) yang digagas Yuwono (2005) merupakan desain pembelajaran yang mengacu pada konstruktivisme dan mengurangi beberapa kelemahan yang ada dalam pembelajaran yang mengacu pada konstruktivisme. Bentuk modifikasi adalah dengan menambahkan satu langkah pada empat langkah pembelajaran matematika yang mengacu pada pembelajaran matematika realistik. Langkah-langkah pembelajaran matematika realistik adalah sebagai berikut: 1) Memahami masalah kontekstual, 2) Menyelesaikan masalah konstekstual, 3) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, dan 4) Menyimpulkan.

Sedangkan langkah-langkah pembelajaran matematika dalam pembelajaran matematika secara membumi (PMB) adalah sama dengan langkah pada pembelajaran matematika realistik, namun masih ditambah lagi satu langkah kelima, yakni latihan keterampilan prosedural. Keterampilan prosedural ini dimaksudkan sebagai latihan siswa untuk menginternalisasikan rumus atau algoritma yang diperoleh pada saat pematematikaan vertikal. Dalam PMB, keterampilan prosedural ini diberikan setelah konsep didapat oleh siswa dan juga diwujudkan dalam bentuk tugas rumah yang berupa latihan mengerjakan soal-soal yang telah menjadi rutinitas siswa (Yuwono, 2005).

Dengan demikian, jika pembelajaran matematika dilakukan dengan pendekatan matematika realistik yang ditambahn dengan latihan keterampilan prosedural, maka diharapkan dapat memberikan dampak positif. Dampak positif yang dimaksud adalah berorientasi ganda, yakni memahami matematika secara konsep, memiliki kemampuan untuk bernalar dan pemecahan masalah dan memiliki keterampilan prosedural.
Contoh:  Ada beberapa ekor kambing dan beberapa kandangnya. Jika 1 kambing untuk setiap kandang, maka sisanya ada 1 kambing. Jika satu kandang 2 kambing, maka akan tersisa 1 kandang kosong. Berapa banyaknya kambing dan berapa banyaknya kandang?
Ini adalh contoh yang akan membuat pola fikir siswa mampu berkembang. Kerena dalam soal ini siswa dituntut untuk menterjemahkan kata-kata tersebut dalam bahasa matematika.

Sumber:
Turmudi. 2008. Landasan filsafat dan teori pembelajaran mtatematika. Leuser Cipta Pustaka: Jakarta

Penalaran Matematika



Penalaran matematika (mathematical reasoning)  diperlukan untuk menentukan apakah sebuah argument matematika benar atau salah san juga dipakai untuk membngan suatu argument matematika. Penalaran metematka tidak hanya pening untuk melakukan pembuktian (proof) atau pemeriksaan program (Program Verification), tetapi juga untuk melakukan inferensi dalm suatu system kecerdasan buatan (artificial intelligence /AI).

Beberapa istilah yang akan dipakaidalm penalaran matematika perlu dimengerti artinya, yakni, bukti, inferensi, teorema, lemma, corollary dan konjektur (conjecture). Aksioma (axiom) adlah asumsi dasar dari suatu stuktur matematika yang tidak perlu bukti. Pembuktian dipakai untuk menunjukan  bahwa suatu pernyataan adlah benar. Suaru pembuktian terdiri dari rangkaian pertanyaan-pertanyaan yang membentuk sebuah argumen. Langkah-langkah yang menghubungkan pertnyan-pertanyaan ini disebut sebagai aturan inferensi (rules of inference).
 
          Suatu penalaran yang salah di sebut sebagai fallacy. Teorma adalah pernyataan yang dapat ditunjukkan bernilai benar. Suatu lemmaadlah teorema sederhana yang di pergunakan sebagai hasil antara pembuktian teorema lain, sedangkan corollary adalah suatu proporsi yang secara langsung diperoleh dari teorema yang sudah dibuktikan. Suatu konjektur adalah suatu pernyataan yang nilaikebenarannya tidak diketahui. Setelah pembuktian berhasil dilakukan, maka konjektur berubah menjadi teorema.