Sebelum memasuki pembahasan pokok tentang
filsafat pendidikan eksistensialisme serta masalah-masalah yang berhubungan
dengannya, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu eksistensialisme.
Secara garis besar eksistensialisme berasal dari kata eksistensi yang berarti keberadaan atau wujud sesuatu yang
membedakan antara suatu benda dengan yang lain.
[1] Dari sudut etimologi eksistensi berasal
dari kata eks yang berarti diluar dan sistensi yang berarti berdiri atau
menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai beridir
sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Sedangkan
eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan
pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus
bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi
dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.
[2]Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme
berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal
menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah
benar-benar sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud
manusia sebagai tema sentral.
[3] Secara singkat Kierkegaard memberikan
pengertian eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran
abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah.
[4] Dengan demikian aliran ini hendak
memadukan hidup yang di miliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami,
dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif.
Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh
dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan
hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
[5] Pandangannya tentang
pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and
Education, bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan
pendidikan dalam segala bentuk”.
[6] Oleh sebab itu
Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana
yang ada sekarang. Namun
bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai
“Eksistensialisme’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker,
tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society,
yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu
model pendidikan yang di kehendaki aliran Eksistensialisme tidak banyak
dibicarakan dalam filsafat pendidikan.
Dari hal inilah filsafat eksistensialisme memandang manusia sebagai terbuka.
Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada
hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih kepada sesamanya.
Filsafat eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit,
pengalaman yang eksistensial, hanya arti pengalaman ini berbeda-beda.
[7] Beberapa ciri eksistensialisme inilah yang
diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, juga dipandang
sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan
pengalaman yang konkrit.
Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.
Dapat di jelaskan lagi sebagai berikut:
·
Eksistensialisme sebagai suatu istilah
filosofis
Gerakan eksistensialisme dalam pendidikan
didasarkan pada suatu sikap intelektual yang para filsuf istilahkan sebagai
eksistensialisme. Dirintis di Eropa pada abad ke-19, eksistensialisme dikaitkan
dengan pemikir-pemikir berbeda seperti soren kierkegaard (1813-1855), seorang
penganut kristen yang taat, dan friedrich Nietzsche (1811-1900) yang menulis buku
berjudul The Antichrist dan melemparkan frase God is dead. Meski para
eksistensialis ternama akanlah tidak sepakat satu sama lainnya mengenai banyak
perkara filosofis yang mendasar, namun mereka sama-sama menjunjung tinggi
individualisme. Khususnya, mereka berpandangan bahwa pendekatan-pendekatan
tradisional tidak cukup menghargai pertimbangan-pertinbangan unik dari setiap
individu.
Formulasi
eksistensialisme klasik dari Jean Paul Sartre, bahwa “ eksistensi mendahului
esensi” berarti bahwa tidak ada ‘nature’ manusia yang bersifat bawaan lahir dan
universal. Kita lahir dan ada, dan kemidian kita sendirilah yang secara bebas
menentukan esensi kita (yaitu, ‘nature’ kita yang paling dalam). Beberapa
filsuf yang biasa dikaitkan denagan tradisi eksistensialis tidak pernah
sepenuhnya mengadopsi prinsip “ eksistensi mendahului esensi”. Namun demikian,
prinsip itu bersifatfundamental bagi gerakan eksistensialis dalam pendidikan.
·
Eksistensialisme sebagai suatu filsafat
pendidikan
Eksistensialisme pendidikan muncul dari
penolakan kuat terhadap pendekatan pendidikan esensialis tradisional.
Eksistensialisme menolak eksistensi sumber apapun untuk kebenaran otoritatif
objektif tentang metafisika, epistemologi, dan etika. Para eksistensialis
berpandangan bahwa individu-individu bertanggung jawab untuk manentukan untuk
menentukan sendiri apa yang “benar” atau “salah”, “indah” atau “buruk”, dsb.
Bagi mereka, idak terdapat bebtuk “nature” manusiawi yang universal;
masing-masing dari kita memiliki kehendak bebas untuk berkembang sesuai
kecocokan kita sendiri.
Didalam ruang kelas eksistensialis, pokok
bahasan (subject matter; mata pelajaran) berada pada tempat kedua untuk
membantu para siswa memahami dan mengapresiasi diri mereka sendiri sebagai
individu-individu yang unik yang menerima tanggung jawab sepenuhnya atas
pikiran, perasaan, dan tindakan mereka sendiri. Peran guru adalah membantu
siwa-siswa menentukan esensi mereka sendiri dengan menghadapkan mereka pada
berbagai jalur yang dapat mereka ambil dalam kehidupan dan menciptakan
lingkungan dimana mereka dapat bebas menentukan cara yang lebih mereka pilih.
Karena perasaan tidak lepas dari penalaran dalam pembuatan keputusan, maka para
eksistensialis menghendaki pendidikan diri secara utuh, bukan hanya untuk
pikiran.
Meski banyak edukator eksistensialis
memberikan struktur kurikuler tertentu, namun eksistensialisme, lebih dari
filsafat-filsafat pendidikan lain, memberikan kepada para siswa kebebasan besar
untuk memilih mata pelajaran mereka sendiri. Didalam sebuah kurikulum eksistensialisis,
siswa-siswi diberi rentang pilihan yang luas.
Sejauh staff, lebih dari para siswa,
mempengaruhi kurikulum, mata pelajaan-mata pelajaran humaniora (humanities)
biasanya diberikan penekanan sangat besar. Humaniora digali sebagai alat untuk
bebas berkreatifitas dan mengekspresikan diri. Misalnya, dari pada menekankan
peristiwa-peristiwa sejarah, para eksistensialis lebih berfokus pada
tindakan-tindakan dari para tokoh sejarah, yang masing-masingnya dapat menjadi
teladan yang mungkin bagi perilaku para
siswa sendiri. Di sisi lain Humaniora, matematika dan sains-sains alam tidak
diberi penekanan besar, barang kali karena mata pelajaran-mata pelajarannya
dianggap “dingin”, “kering”, “objektif”, dan oleh karena itu kurang bermanfaat
bagi kesadaran diri. Selain itu,
pendidikan vokasional dipandang lebih sebagai suatu cara untuk mengajarkan
kepada siswa tentang diri mereka sendiri dan potensi mereka dari pada sebagai
pengajaran mencari nafkah. Dalam mengajarkan seni, eksistensialisme mendorong
kreatifitas dan imajinasi individual daripada sekedar menjiplak dan meniru
model-model yang telah mapan.
Metode-metode eksistensialis berfokus pada
individu. Belajar memiliki kecepatan dan arah sesuai masng-masing individu, dan
meliputi banyak kontak individu dengan guru, yang memiliki hubungan yang tebuka
dan jujur dengan tiap siswa. Meski elemen-elemen eksistensialisme sekali-kali
muncul disekolah-sekolah negeri, namun filsafat ini telah lebih diterima
disekolah-sekolah swasta dan sekolah-sekolah negeri alternatif yang didirikan
pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar