Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa
pemerintahan Abu Fath Abdul Fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng
Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional,
sehingga perekonomian kesultanan itu maju pesat. Wilayah kekuasaannya pun
semakin meluas, meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut
kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Lampung.
Kesultanan Banten mengadakan hubungan dengan negara-negara
lain melalui jalur laut. Pengiriman pejabat ke berbagai negara seringkali
dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah masa keemasan
Kesultanan Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa sempat mengirimkan dua orang
utusannya ke Inggris sebagai duta besar yang ditugasi juga membeli senjata.
Selain itu, sultan menggalang hubungan baik dengan Aceh, Makassar, India,
Mongol, Turki, dan Arab. Para penguasa Banten yang pergi ke Arab untuk
menunaikan haji dan ke Inggris untuk menunaikan tugas sebagai utusan,
menggunakan kapal milik pedagang Inggris. Sebagai sultan ke-6, Sultan Ageng
Tirtayasa, tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas
negaranya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk berkompromi dengan Belanda. Pada
1645 hubungan Banten dengan Belanda semakin panas.
Pada 1656 pasukan Banten bergerilya di sekitar Batavia.
Setahun kemudian, Belanda menawarkan perjanjian damai. Lantaran perjanjian itu
hanya menguntungkan Belanda, sultan Banten menolaknya. Pada 1580 meletuslah
perang besar antara Banten dan Belanda. Perang itu berakhir pada 10 Juli 1659
dengan ditandai penandatanganan perjanjian gencatan senjata. Sultan Ageng
Tirtayasa memiliki putra mahkota yang bernama Abdul Kohar. Ia diangkat menjadi
putra mahkota pada tanggal 16 Februari 1671 dengan gelar Sunan Abu'n Nasr Abdul
Kohar yang dikenal sebagai Sultan Haji. Putra mahkota inilah yang menjadi jalan
bagi Belanda untuk mengadu domba sultan dengan putranya sendiri. Sultan Haji
menginginkan perdamaian dengan Belanda dengan mengirimkan surat pada 1680
dan menyatakan bahwa ia adalah penguasa Banten sepenuhnya, bukan lagi Sultan
Ageng Tirtayasa.
Pada 26 Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa menyerbu
Surosowan tempat Sultan Haji berkedudukan. Serangan tersebut berhasil, namun
kemudian Surosowan direbut oleh Belanda di bawah pimpinan Kapten Tack.
Pemerintahan Banten selanjutnya dipegang oleh Sultan Haji. Setelah Sultan
Haji meninggal, terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya, akibat
campur tangan dari Belanda. Sejak saat itu terjadi gonta-ganti sultan dan Kesultanan
Banten mulai mengalami kemunduran.
Puncak kehancuran terjadi pada masa Kesultanan Banten
diperintah oleh Sultan Muhammad Syarifuddin. Ia dipaksa turun tahta dan
Kesultanan Banten dihapus oleh pemerintahan Inggris yang menggantikan Belanda
di Banten di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles. Sejak itulah
Kesultanan Banten hilang dan hanya meninggalkan jejaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar