Dilakukan sejak tahun 1619
oleh Kerajaan Banten saat VOC berusaha hendak merebut bandar pelabuhan Merak,
yang membuat orang Banten sangat marah dan menaruh dendam terhadap VOC. Apalagi
VOC telah dengan sewenang-wenang merebut Jayakarta yang menjadi wilayah
kekuasaan Kerajaan Banten dan berusaha memblokade pelabuhan dengan Kerajaan
Banten. Untuk menghadapi bahaya dan ancaman Kerajaan Mataram, VOC berusaha
mendekati Kerajaan Banten. Tetapi Banten sudah terlanjur menaruh dendam
terhadap Belanda. Pada Desember 1627 orang-orang Banten merencanakan pembunuhan
terhadap J.P. Coen. Tetapi rencana itu bocor dan telah diketahui musuh.
Kemudian mereka mengamuk dan membunuh beberapa orang Belanda
Tahun 1633,
ketika VOC bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang Banten yang berlayar
dan berdagang di Kepulauan Maluku, maka pecah lagi peperangan antara Banten dan
VOC. Orang-orang Banten adalah penganut Islam fanatik, sedang orang-orang
Belanda adalah penganut Kristen. Orang-orang Banten yang fanatik menganggap
orang-orang Belanda adalah kelompok kafir yang akan merusak kehidupan agama
mereka. Hubungan antara Kerajaan Banten dan VOC lebih gawat lagi ketika
kerajaan itu diperintah oleh Sultan Abdulfatah. Abdulfatah yang dikenal
gelarnya Sultan Ageng Tirtayasa (1650-1682). Hal ini dibuktikan dengan
peperangan-peperangan yang dilakukannya melawan VOC atau Kompeni Belanda, baik
di darat maupun di laut. Di daerah-daerah perbatasan antara Batavia dan
Kerajaan Banten seperti di daerah Angke, Pesing dan Tangerang sering terjadi
pertempuran-pertempuran yang membawa korban kedua belah pihak.
Untuk melawan Banten, VOC membentuk pasukan-pasukan bayaran
yang terdiri dari pelbagai suku bangsa seperti: Suku Bugis, Suku Bali, Suku
Banda dan lain-lainnya. Selain itu VOC juga terdiri dari pelbagai suku bangsa
Indonesia yang bermukim dan bertempat tinggal di Jakarta, termasuk orangorang
Cina, orang-orang Jepang serta keturunan orang-orang Portugis yang sudah
menjadi kawula atau pegawai-pegawai VOC. Orang-orang Belanda sendiri yang tidak
seberapa jumlahnya, karenanya selalu berada di garis belakang, namun dengan
persenjataan lengkap bahkan mempergunakan senjata meriam.
VOC juga mendirikan dan memperkuat perbentengan-perbentengan
mereka di perbatasan Kerajaan Banten, seperti di daerah Angke, Pesing dan
lain-lainnya, Tahun 1658, dipimpin Raden Senopati Ingalaga dan Haji Wangsaraja
menyerang Batavia di daerah Angke dan Tangerang. Kedatangan tentara Banten itu
sudah diketahui VOC melalui mata-mata dan kaki tangan mereka. VOC menyiapkan
pasukan-pasukannya dan segera menyongsong tentara Banten itu. Dan terjadilah
pertempuran seru. Dengan kapal-kapalnya dan persenjataan meriam-meriamnya yang
besar VOC mengurung serta menutup pelabuhan Banten, yang berakibat terhentinya
perdagangan Kerajaan Banten. Dengan cara yang demikian VOC banyak menimbulkan
kerugian lawan, karena hidup kerajaan itu sebagian besar bergantung kepada
perdagangan. Belanda yang licik berusaha memecah belah dan mengadu domba
orang-orang Banten, yang berhasil mengadu domba Sultan Ageng Tirtayasa dan
puteranya, Sultan Haji. Akhimya ayah dan anak itu bermusuhan dan berperang.
Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC, sedangkan Sultan Haji berpihak pada VOC.
Pada bulan Pebruari 1682 pecah perang antara Sultan Ageng
Tirtayasa dan Sultan Haji. Tanggal 6 Maret 1682 VOC mengirimkan bantuan di
bawah pimpinan Saint Martin. Sultan Ageng Tirtayasa dipukul mundur dan bertahan
di Tirtayasa. Januari 1683 Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Purbaya serta
sejumlah pasukan Banten berada di Parijan, Tangerang. Mereka tetap melanjutkan
perjuangan melawan VOC. Kemudian Sultan Haji mengirim surat kepada ayahnya agar
datang ke Istana, yang curiga memenuhi undangan puteranya. Tanggal 14 Maret
1683 Sultan Ageng tiba di Istana dan diterima dengan baik, tetapi kemudian
ditangkap dan dibawa ke Batavia. Tahun 1695 Sultan Ageng Tirtayasa wafat.
Setelah Sultan Ageng wafat, sisa-sisa tentara Banten tetap mengadakan
perlawanan.
Setelah Kesultanan Banten dihapus oleh Belanda, perjuangan
melawan penjajah dilanjutkan oleh rakyat Banten yang dipimpin oleh ulama dengan
menggelorakan semangat perang sabil. Keadaan ini berlangsung sampai Negara
Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya. Hal ini terlihat di berbagai
pemberontakan yang dipimpin oleh kiai dan didukung oleh rakyat, antara lain
peristiwa "Geger Cilegon" pada tahun 1886 di bawah pimpinan KH Wasyid
(28 Juli 1888) dan "Pemberontakan Petani Banten" pada tahun 1888.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar